QR CodeQR Code

Gerakan Takfiri Global

"Khalifah Teror" ISIS Berpengaruh pada "Jihadis" Indonesia?

17 Jul 2014 10:04

Islam Times- Berkenaan dengan poin kedua, jumlah pendukung ISIS di Indonesia telah meningkat secara nyata. "Termasuk di antaranya, kelompok-kelompok jihad yang ada dan para pendukungnya serta kaum radikal non-kekerasan," imbuh keduanya.



Serangan bom bunuh diri baru-baru ini di Suriah yang dilakukan militan Malaysia telah menyoroti kehadiran teroris Asia Tenggara dalam perang sipil Suriah. Demikian ungkap dua peneliti masalah kemanan nasional, Nahvat Nuraniyah dan Sulastri Osman.

"Sebanyak 15 warga Malaysia lainnya juga telah dilaporkan tewas dalam sebuah bentrokan, sementara 'jihadis' Indonesia juga disebutkan berada di antara yang tewas di Suriah dan Irak," kata keduanya. Kebanyakan mereka dilaporkan ikut memberontak bersama kawanan ekstrimis Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).

"Di antara orang Indonesia yang tewas adalah alumni sejumlah sekolah berbeda yang terkait dengan Jamaah Islamiyah di Indonesia," kata Nuraniyah Osman. Analis keamanan percaya, lanjutnya, jumlah teroris Indonesia di Suriah lebih besar dari angka 56 yang diperkirakan pemerintah.

Banyak militan Indonesia percaya Suriah menjadi pusat kekhalifahan terakhir dan di mana Peperangan Akhir, atau Armageddon, melawan Dajjal, atau mesiah palsu, akan terjadi. "Berdasarkan interpretasi kawanan 'jihadis' terhadap hadis tertentu, didalihkan bahwa konflik saat ini melawan Presiden Suriah Bashar al-Assad kemungkinan bukan Peperangan Akhir, namun dipastikan itu merupakan mekanisme sanksi Ilahi untuk mengenyahkan orang-orang kafir dari tanah suci," ujar Nuraniyah dan Osman.

Dengan menelan narasi itu, kawanan jihadis Indonesia yang melakukan perjalanan, atau berniat pergi, ke Suriah untuk berperang dapat dengan mudah menganggap tiket perjalanannya sekali jalan, entah tinggal atau mati di sana demi menjadi bagian dari Kemenangan Akhir. "Pemerintah mengantisipasi jika beberapa darinya kembali, mereka akan melancarkan 'jihad' bersenjata dengan keterampilan dan komitmen yang ideologis baru," kata kedua peneliti tamu pada Centre of Excellence for National Security itu.

Indonesia sah-sah saja merasa kuatir terhadap veteran Suriah, bila mengingat beberapa serangan teroris paling mengerikan di negara itu dalam dekade terakhir didalangi kawanan teroris Wahhabi yang pernah berperang di Afghanistan atau Mindanao. "Namun, perhatian yang lebih mendesak boleh dibilang adalah membengkaknya jumlah pendukung lokal terhadap kawanan teroris Suriah, terutama ISIS," Nuraniyah dan Osman mengingatkan.

"Secara lokal, 'kekhalifahan' versi ISIS yang diplokamirkan secara sepihak telah membuahkan dua hasil," imbuh keduanya. Pertama, menyuntikkan dorongan baru dalam gagasan qital tamkin, peperangan bersenjata, yang ditujukan untuk mendapatkan kontrol teritorial ketimbang hanya menyerang musuh (qital nikayah). Kedua, memberi kontribusi terhadap pertumbuhan pendukung ISIS Indonesia melebihi orang-orang yang menghuni lingkaran Wahhabi militan.

"Di titik pertama, pencaplokan sebagian wilayah Suriah dan Irak oleh ISIS lebih jauh dapat memperkuat kelangsungan hidup ISIS gaya qital tamkin di Indonesia. Qital nikayah berskala kecil telah menjadi taktik yang disukai sebagian besar sampai sekarang karena lebih mudah dilancarkan," tutur Nuraniyah dan Osman. Namun, lanjut keduanya, pendekatan, yang diusung salah satunya oleh para pelaku bom Bali dan Noordin Top, dikritik habis-habisan sebagai terlalu merusak dan tidak menghasilkan keuntungan politik atau teritorial yang besar.

"Konsekuensinya, mereka yang mengusung qital tamkin, termasuk ideolog 'jihadis' berpengaruh, Aman Abdurrahman, menggunakan 'kemenangan' ISIS untuk menunjukkan bagaimana kawanan 'jihadis' Indonesia perlu fokus pada pembangunan basis yang aman di mana syariat dapat diterapkan," papar keduanya.

Pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Abu Bakar Baashir, juga baru-baru ini menganjurkan ISIS justru dikarenakan telah telah membentuk kontrol teritorial dan kemiripan otoritas yang mengaturnya. "Ini berfungsi untuk memulihkan energi guna menciptakan tempat berlindung yang aman bagi kawanan 'jihadis'. Strategi ini telah mendukung berbagai kampanye kekerasan selama bertahun-tahun, termasuk tawaran untuk mendirikan basis militan di Aceh pada akhir 2009, juha Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso yang saat ini masih diburu di Poso," papar Nuraniyah dan Osman.

Berkenaan dengan poin kedua, jumlah pendukung ISIS di Indonesia telah meningkat secara nyata. "Termasuk di antaranya, kelompok-kelompok jihad yang ada dan para pendukungnya serta kaum radikal non-kekerasan," imbuh keduanya.

MIT dan JAT merupakan di antara mereka yang telah bersumpah setia terhadap atau mendukung ISIS. Kelompok baru juga telah dibentuk untuk mendukungan ISIS secara langsung, seperti Ansharullah, yang anggotanya telah mengungkapkan niatnya secara terbuka untuk berperang di Suriah, dan Anshar al-Daulah, yang anggotanya lebih cenderung mempromosikan ISIS melalui kegiatan berbasis masyarakat, seperti amal. Simpatisan ISIS juga datang dari kelompok-kelompok advokasi pro-syariah.

"Situs pro-ISIS yang baru, kelompok Facebook dan akun Twitter, juga terus bermunculan dengan ribuan pengikut," ujar Nuraniyah dan Osman. Kendati kebanyakannya berbagi romantisme tentang kekhalifahan Islam, namun tidak semua selalu mendukung metode kekerasan kelompok itu.

"Namun, mengingat bahwa teroris seperti Abu Roban telah dilaporkan telah merekrut pelaksana baru dengan mengidentifikasi para pemandu sorak yang mendukung 'jihad' bersenjata di Facebook, para pemandu sorak online ISIS juga dapat menjadi target perekrutan," imbuh keduanya.

Singkatnya, perkembangan di Suriah dan Irak dapat menentukan arah baru bagi gerakan Wahhabi militan di Indonesia.  "'khalifah' yang baru dideklarasikan sepihak itu telah memikat pendukung lokal dan menghidupkan kembali gagasan qital tamkin," kata Nuraniyah dan Osman. Perkembangan ini dapat berimplikasi di seluruh kawasan, baik dalam hal efek luapan dari politik domestik atau gerakan klandestin dari elemen kekerasan lintas-batas Asia Tenggara.

"Terdapat kebutuhan untuk memonitor secara dekat perkembangan pendukung ISIS guna membedakan mana ancaman keamanan yang kredibel dan mana ulah kurang ajar para pemandu sorak," tegas Nuraniyah dan Osman. Tanpa harus menbunyikan alarm bahaya, terutama mengingat mayoritas Muslim global menilai ISIS tidak relevan dan tidak absah, melawan legitimasi baru "khalifah" serta setiap upaya untuk menirunya dalam konteks Indonesia tetaplah penting. (IT/ST/rj)


Story Code: 399913

News Link :
https://www.islamtimes.org/id/interview/399913/khalifah-teror-isis-berpengaruh-pada-jihadis-indonesia

Islam Times
  https://www.islamtimes.org