0
Friday 31 July 2015 - 11:59

KH Said Aqil Siroj Tanggapi Tuduhan Agen Syiah dan Islam liberal

Story Code : 477054
KH. Said Aqil Siradj
KH. Said Aqil Siradj
KH Said Aqil Siroj ketua umum PBNU periode 2010-2015 udah menyatakan diri untuk siap dipilih kembali jika muktamirin menghendaki. Lalu apa visi, misi dan programnya jika ia terpilih kembali untuk periode kedua, berikut pikiran-pikirannya.

Kiai sudah menyatakan siap dipilih kembali dalam Muktamar ke-33 mendatang, apa ada upaya tertentu yang dilakukan?

Sejak awal saya katakan saya mengalir. Jika masih dipercaya (memimpin) saya siap menerima amanah itu, jika tidak ya tidak apa-apa. Di NU itu pengabdian, tanpa menjadi Ketua Umum-pun saya juga akan tetap mengabdi.

Bagaimana kiai memandang jabatan ketua umum PBNU?

Yang jelas saya tidak kampanye, saya mengalir saja. Seperti tadi saya katakan, mengabdi di NU bisa dilakukan siapapun, baik memiliki jabatan atau tidak, sama-sama mengabdi. Dalam Islam sendiri kita tidak dilarang mengejar jabatan, tapi caranya harus baik, tidak boleh menabrak norma-norma, dan yang paling penting ketika jabatan itu didapat kita tidak boleh dikendalikan oleh jabatan itu.

Bagaimana kiai menanggapi tuduhan Syiah, bagian dari Islam liberal, atau hal lainnya?

Sebenarnya itu bukan hal baru. Kalau Anda ingat, sepulang dari Arab Saudi saya langsung dituding liberal dan bahkan sampai ada forum Kiai muda di Jawa Timur yang men-tabayun-kan soal itu. Sekarang saya dituding agen Syiah, dasarnya apa? Pendidikan saya S1 Usluhuddin, S2 Perbandingan Agama, S3 Filsafat Islam, Tasawuf. Jangankan ajaran Syiah, Jabariyyah, Qodariyyah, Murji’ah, Jahamiyyah, Khawarij, Ahmadiyyah, Wahabiyyah, semuanya mata kuliah yang saya pelajari. Saya itu paham bagaimana isi al Kitab, bahkan mungkin lebih paham daripada pendeta. Lalu apakah saya disebut Nasrani? Apakah saya Kristen? Jadi tudingan saya Syiah itu tidak benar, saya masih teguh memperjuangkan dan menjalankan Islam Ahlussunah wal Jamaah.

Soal tudingan saya menjadi agen Syiah karena mengirimkan mahasiswa NU ke Iran, ada ustadz muda, kader NU juga, mengatakan saya bekerjasama dengan Al Musthafa Al Alamiyyah, saya pastikan justeru di era saya tidak satupun mahasiswa NU dikirim untuk studi ke Iran. Yang ada kita mendapatkan beasiswa pendidikan ke Amerika, Australia, China, Mesir, Sudan, Libya, Maroko, Syria, tapi tidak ada ke Iran. Kalau sekarang ada anak-anak kita yang studi di Iran, itu beasiswa peninggalan pengurus yang lalu.

Ada sebagian kalangan yang tidak puas dengan kepemimpinan Kiai selama ini?

Ya, penilaian itu kan tergantung siapa yang memberikan. Yang jelas saya berusaha menjadi Ketua Umum yang baik. Soal ada cabang yang tidak terayomi saya dengar itu, salah satunya karena katanya susah mengundang saya. Setiap undangan yang datang, kalau memang bisa datang ya saya datangi, jika ternyata udzur dicarikan pengganti. Selama lima tahun menjadi Ketua Umum memang belum semua wilayah dan cabang saya datangi, tapi itu juga karena alasan kesehatan, saya sempat dirawat beberapa waktu lalu.

Kalau soal organisasi, tidak bermaksud sombong, tapi justru sekarang ini Lembaga, Lajnah, dan Badan Otonom di NU bisa berjalan dengan baik. Semua karena saya berikan kebebasan beraktifitas, asalkan tidak menabrak norma-norma ke-NU-an. Lembaga Kesehatan, Lembaga Ta’mir Masjid, Lembaga Pencegahan Bencana Alam (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim – LPBI, red), Lembaga Pertanian, Lembaga Perekonomian, Lembaga Dakwah, dan lembaga-lembaga lain semuanya hidup. Pengelolaan keuangan baru di era saya ini ada audit oleh auditor independent, semuanya dicatat dan dilaporkan, semuanya juga bisa mengakses, siapapun bisa melihat bagaimana laporan keuangan PBNU.

Apalagi yang ditanyakan? Atau mau saya ungkap semua?

Silahkan, Kiai…

Target saya melahirkan 5 universitas, seperti saya katakan ketika menang di (Muktamar) Makassar, sekarang sudah ada 25 universitas, sebentar lagi bahkan tambah jadi 26, nanti (bulan) Syawal akan diresmikan UNU Kalimantan Selatan, semuanya bukan milik pribadi, bukan milik perorangan, tapi milik Perkumpulan Jamiyyah Nahdlatul Ulama, semuanya atas nama NU. Dari Nabi Adam sampai sekarang ini, baru kali ini NU memiliki Perguruan Tinggi yang atas nama NU. Dari dulu (sebenarnya) ada, tapi rata-rata atas nama Kiai, atas nama yayasan dan atas nama pesantren.

Rumah sakit sekarang sudah banyak berdiri, bukan atas nama pribadi, tapi atas nama NU. Aset NU yang setiap warga NU bisa merasakan manfaatnya. Di Surabaya, Tuban, Demak, dan Jombang, nanti Muktamirin akan merasakan pelayanannya.

Apa yang belum tercapai?

Bahwa ada yang tidak tercapai di era saya itu pasti ada, salah satunya penyelamatan aset. Harus saya akui itu tidak mudah, tapi bukan berarti saya menyerah. Alhamdulillah, saat ini sudah ada ratusan hektar tanah wakaf milik NU yang bisa diselamatkan dan disertifikatkan. Ini tidak lepas dari dukungan Pemerintah, kita harus berterima kasih karena proses sertifikasi itu ternyata diberikan kemudahan.

Lantas apa kira-kira rencana ke depan yang ingin dicapai jika terpilih kembali?

Ada beberapa. Salah satunya saya ingin sekali NU mandiri secara finansial, kalau butuh uang tidak sedikit-sedikit proposal, dan itu menjadi PR kita bersama. Caranya bagaimana, tentu harus diawali dengan meningkatkan kesejahteraan warga NU, karena dengan itu insya Allah akan mendorong kesadaran menghidupi NU, tidak nunut urip di NU. Beberapa Lembaga Lajnah dan Banom sekarang menjalankan program ekonomi kerakyatan, ada permodalan dan lain-lain, silahkan Nahdliyin mengaksesnya.

Saya juga ingin meneruskan melahirkan perguruan-perguruan tinggi NU, kalau bisa setiap wilayah ada, bahkan jika mampu cabang silahkan mendirikan, mumpung kita diberikan kemudahan oleh Pemerintah dalam perizinan. Pendidikan masih akan menjadi target saya jika masih dipercaya memimpin NU. Ingat, NU itu 32 tahun dikekang, tidak boleh berkembang, dan sekaranglah saatnya NU mengejar ketertinggalannya dari Ormas-ormas lain. Rumah sakit NU juga begitu, mari kita perbanyak, karena sejatinya NU didirikan untuk pelayanan sosial, memberikan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan.

Sekarang kita bicara hubungan NU dan Negara, Kiai. Bagaimana Kiai melihat tantangan NU ke depan?

Radikalisme, itu yang pasti akan saya sebut pertama. NU harus berada di barisan terdepan dalam menghadapi ancaman radikalisme, baik yang mengatasnamakan agama atau separatism, itu tantangan bangsa dan juga tantangan NU. Dalam Muktamar tahun 1936 NU sudah menegaskan Nation State, Negara kebangsaan harga mati, yang berarti ketika ada pihak-pihak yang merongrong juga harus dihadapi. Apalagi belakangan juga ada radikalisme berbalut Islam salafi yang menjelek-jelekkan tradisi-tradisi NU, kita tidak boleh tinggal diam.

Terakhir, Kiai. Jika nanti terpilih kembali, bagaimana Kiai akan menempatkan NU terhadap negara?

NU sebagai civil society terbesar, konon kata LSI (Lembaga Survei Indonesia, red) jumlah pengikutnya sudah mencapai delapan puluh juta orang, sudah diakui adalah penyeimbang untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. NU mampu seiring sejalan dengan negara ketika negara melindungi, mengayomi, dan mensejahterakan rakyatnya, dan sebaliknya NU siap mengkritik jika negara abai.

NU juga akan tetap menjalankan prinsip-prinsip tasamuh, tawasuth, dan tawazun, i’tidal untuk menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, dan itu diakui atau tidak menjadikan Indonesia dipandang sebagai Negara yang damai oleh dunia internasional. Bahkan Wapres di era Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red), Pak Boediono, pernah berujar Indonesia beruntung memiliki NU. Ini terbukti karena NU mampu menjadi penengah, menjadi peredam ketika sebuah konflik muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berbeda dengan di Timur Tengah, di sana tidak ada civil society, ketika konflik terjadi maka bedhil (senjata) yang jadi penyelesaian. Sikap-sikap itulah yang harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, karena sesuai dengan tema Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia, itu berarti saatnya kita mengekspor gagasan-gagasan damai dalam bermasyarakat, damai dalam beragama, ke dunia internasional. Satu lagi tentang Islam Nusantara itu sendiri yang merupakan perpaduan aqidah dan budaya. Dengan Islam Nusantara agama menjadi kuat, sementara budaya lestari, sehingga terjadi harmonisasi dalam kehidupan. Sepanjang budaya itu tidak bertentangan dengan aqidah, itu bagian dari Islam Nusantara. [IT/Nu.or.id]

Sumber: nu.or.id
Comment