0
Tuesday 15 May 2018 - 11:32

Pembahasan Revisi UU Terorisme Masih Terhambat Definisi

Story Code : 724795
Pelibatan anak-anak dalam serangan teror ternyata mempunyai tujuan beragam, mulai dari muslihat hingga propaganda membangkitkan gerakan
Pelibatan anak-anak dalam serangan teror ternyata mempunyai tujuan beragam, mulai dari muslihat hingga propaganda membangkitkan gerakan 'jihad global'. (ANTARA FOTO/HO/HUMAS PEMKOT-Andy Pinaria)
Aksi teror bom di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) membuat Presiden Joko Widodo gemas. Untuk kedua kalinya dia meminta agar DPR secepatnya menuntaskan pembahasan revisi UU Tindak Pidana Terorisme. Tapi kali ini permintaan itu disertai ancaman, "Kalau nanti bulan Juni, di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu -Jkw," cuit lewat akun @Jokowi, Senin (14/5/2018).

"UU ini merupakan payung hukum yang penting bagi aparat, bagi Polri untuk bisa menindak tegas baik dalam pencegahan maupun dalam tindakan," Presiden Jokowi melanjutkan.

Revisi atas UU No. 15 Tahun 2003 itu diajukan pemerintah pada Februari 2016, sebulan setelah teror bom Thamrin, 14 Januari 2016. UU tesebut merupakan penetapan Perppu No 1 tahun 2002. Dan tahu apa isi Perppu 1 tahun 2002? Lazimnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, isinya ringkas dan padat. Belum mencakup semua pendekatan yang dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme.

Tapi sejatinya tak cuma fraksi-fraksi di DPR yang terkesan ogah-ogahan menuntaskan pembahasan revisi UU tersebut dengan berbagai dalihnya. Kalangan aktivis HAM pun ramai-ramai menolak sejumlah rancangan pasal baru yang diajukan pemerintah.

Draf yang diajukan pemerintah memuat poin perubahan antara lain, penambahan batas waktu penangkapan dan penahanan, pelibatan TNI, izin penyadapan cukup dari hakim pengadilan, penanganan kasus diperluas termasuk upaya preventif, mencabut paspor bagi WNI yang terlibat pelatihan militer teroris di luar negeri, pengawasan terhadap terduga dan mantan terpidana terorisme, dan proses rehabilitasi.

Dari sejumlah poin tersebut, yang mendapat perhatian dan ditentang adalah mengenai penahanan selama 6 bulan tanpa status jelas dan soal keterlibatan dan kedudukan TNI dalam pemberantasan terorisme.

"Jangan geser upaya revisi dari model penegakan hukum ke model peperangan. Kami lihat ada upaya menggeser pendekatan ini," kata Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf di DPR, 9 Juni 2016.

Hampir setahun kemudian, 24 Mei 2017, terjadi serangan teror bom di terminal Kampung Melayu. Lima hari berselang, 29 Mei, Presiden Jokowi mendesak DPR untuk mempercepat pembahasan revisi UU tersebut. Mungkin untuk merespons desakan tersebut, dan menunjukkan keseriusan, Pansus melakukan studi banding ke AS pada pertengahan Oktober 2017.

Pemerintah dan DPR menyepakati keterlibatan TNI dalam pasal 43 J ayat 1, 2 dan 3 (draf RUU Terorisme per 17 April 2018). Pelibatan ini akan diatur melalui peraturan presiden. Kesepakatan tersebut dicapai pada 15 Maret2018, setelah pada 8 Januari,Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyurati DPR mengenai pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Masa penahanan yang semula disebut 6 bulan pun, akhirnya disepakati cuma 14 hari, dengan catatan tetap dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Puncaknya, ketika terjadi aksi penyanderaan dan pembunuhan terhadap polisi oleh narapidana terorisme di Mako Brimob pada 9-10 Mei, sejumlah fraksi DPR dan pemerintah menyatakan semua isu substansial dalam revisi UU sudah selesai. Dalam masa persidangan berikutnya, diyakini UU Anti Terorisme bakal disahkan.

Tapi menurut Ketua Pansus Muhammad Syafi'i dari Gerindra, yang belum disepakati tinggal soal definisi. Wakil pemerintah di Pansus, kata dia, berkeras tak mau mencantumkan soal frasa, "motif dan tujuan politik" ke dalam definisi aksi terorisme.

Tapi menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih, pemerintah menolak karena definisi tersebut tidak terlalu penting. Mengingat, dalam Pasal 6 dan 7 RUU Terorisme, telah disebutkan dengan jelas unsur-unsur yang melingkupi tindakan pidana terorisme.

"Kalau kita mendefinisikan itu malah bahaya. Nanti bisa menyulitkan pembuktian di muka hukum. Kalau dia [teroris] mengaku tidak memiliki motif ideologi dan politik, nanti tidak bisa dihukum," kata Enny. [IT/Detik]




 
Comment