0
1
Komentar
Friday 2 May 2014 - 15:29
Kebangkitan Islam

“Anugerah Siksa”

Story Code : 378457
Anugerah Ilahi
Anugerah Ilahi

Pagi itu Badrud, salah satu mahasiswa yang belakangan ini menunjukkan prilaku tidak lazim karena terlalu sering melakukan kontemplasi mistik tiba-tiba meminta waktu untuk berbincang. Sambil menyusuri jalan di sekitar Pasar Minggu, dia meminta saya memperhatikan pertanyaannya. “Mengapa Allah mewajibkan manusia bersusah payah menyiksa diri dengan puasa?” tanyanya. Sekilas itu pertanyaan yang sangat umum. Tapi bila memperhatikan raut wajahnya yang terlihat serius, saya menduga dia menantikan jawaban yang berbeda dari apa yang biasanya diberikan oleh para ustadz di televisi. Aku terdiam sejenak sambil membiarkan pikiranku terbang memasuki liberary memoriku.

Setiap penghuni alam semesta adalah makhluk. Ia hadir sebagai ciptaan, sadar maupun tidak. Predikat “makhluk” disandang secara natural (takwini). Setiap entitas nyaris mematuhi hukum kemakhlukan “Sunnatullah” dari makhluk mineral dengan cirri khasnya hingga makluk hewani dengan ciri khasnya. Masing-masing bergerak dan mengikuti aturan yang berlaku secara determinan. Mereka semua patuh dan tak dapat mengelak dari konsekuensi natural.

Kepatuhan ini bersifat universal, bagi alam itu sendiri dan semua yang mengisinya. Rahmat Allah sebagai sistem yang meliputi setiap entitas kosmik meliputinya tanpa membedakan sisi kehambaannya. Bila alam bergerak dan berproses, maka siapapun yang berada di dalamnya akan menerima akibatnya. Gempa dan semua proses natural tak lain adalah fenomena yang menkonfirmasi hukum kemakhlukan.

Hanya sebagian dari penghuni alam yang diberi tugas tambahan, yaitu kehambaan. Manusia dan jin adalah makhluk yang dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaan. Kehambaan adalah hukum yang dibebankan kepada manusia, karena ia telah dilengkapi dengan kehendak, akal sehat dan ikhtiar.

Pemuda asal pulau Madura ini masih menunggu jawaban saya. “Begini. Sebelum mewajibkan puasa dan perintah lainnya, Allah memberi kita kemampuan melakukan dan tidak melakukannya. Setelah diberi, Allah menghendaki manusia menggunakan kemampuan itu. Lalu Allah menetapkan peraturan yang mengikat dan mengurangi kebebasannya dengan kemampuan dan kehendaknya.

Pada saat itu ada sekelompok manusia yang bersedia mengurangi kebebasannya dengan mematuhi aturan-aturan itu, dan ada pula sekelompok manusia yang tidak bersedia mengurangi kebebasannya. Saat itu Allah akan memberikan kasihnya kepada kelompok itu. Yang bersedia membatasi kebebasannya dengan mematuhi aturan-aturanya, diberi rahmat berupa ganti rugi kebebasan yang sudah dikuranginya. Sedangkan yang tidak bersedia membatasi kebebasannya dengan tidak mematuhi aturan-aturan itu diberi rahmat berupa ganti untung kebebasan yang telah dinikmatinya. Lalu masing-masing lebur dalam rahmatNya dengan dua manifestasiNya.

Kelompok pertama telah melaksanakan tugas kemakhlukan dan kehambaan dan karenanya diganjar dengan pahala berganda rahmat yang panas dan sejuk (menghangatkan) karena ia menghimpun rahmat Jalaliyah dan rahmat JamaliyahNya. Sedangkan kelompok kedua hanya melaksanakan tugas kemakhlukan hanya mendapatkan rahmat Jalaliyah, rahmat yang panas.

Pahala dan siksa adalah dua rahmat yang berbeda pola. Allah memasukkan yang patuh sebagai makhluk dan hamba dalam kasihNya yang berganda, yaitu rahmat yang sejuk dan panas. Dan Ia memasukkan yang hanya patuh sebagai makhkuk dalam kasih yang tunggal, yaitu rahmat yang panas (cahaya, api). Neraka tak lain adalah rahmat yang dihadirkan dalam bentuk suhu tinggi yang membakar laron-laron yang bersaing meraihnya. Sorga adalah rahmat yang dihadirkan dalam bentuk suhu rendah yang membekukan semut-semut yang berjuang untuk tenggelam di dalamnya.

Api melumerkan anai-anai yang memutuskan untuk lenyap dalam cintanya yang membara. Madu menenggelamkan (membekukan) semut yang memutuskan utuk mengalami perfeksi dan transsubtansi sebagai madu.

Cinta dapat dipahami sebagai peleburan subjek dan objek bak semut yang meleburkan diri dalam laguna madu seraya menganggap dirinya madu. Cinta dapat pula dipahami sebagai peniadaan subjek dalam diri objek laksana anai-anai yang memusnahkan diri dalam api (cahaya) sembari menganggap dirinya tiada. [IT/ML]


Comment


Indonesia
Cinta