0
Thursday 8 January 2015 - 19:19

Soliloqui 2014

Story Code : 431176
Pendukung ISIS Indonesia (kanalsatu)
Pendukung ISIS Indonesia (kanalsatu)
Tahun 2014 lalu buat Indonesia adalah tahun yang penuh peristiwa—ya persis seperti tahun-tahun sebelumnya dan nanti sesudahnya. Saham rasisme, terorisme, sofisme dan pemutarbalikan fakta termasuk yang paling melambung. Di tahun ini kita tahu dengan pasti siapa yang memenangkan pilpres—yang sempat digambarkan sebagai peperangan antara Muslim versus kafir, pribumi versus non-pribumi, kepentingan nasional versus kepentingan asing. Di tahun ini juga kita jadi sadar bahwa Indonesia telah jauh meninggalkan pikiran banyak orang-orang kolot. Rakyat Indonesia tampaknya sudah tak terlalu berselera lagi dengan jargon-jargon lawas, yang berkutat pada sentimen-sentimen primordial. Faktanya, penguasa baru Indonesia yang—konon—didukung 9 naga mampu meraih pucuk pimpinan, dan gubernur “kafir” dari etnik yang paling dibenci pun lolos memimpin Ibukota.

Apa yang salah? Apa yang terjadi? Mengapa umat ini lagi-lagi gagal memilih agenda, salah memilih cara, terjebak di lorong-lorong sempit yang sama? Masalahnya memang tidak mudah untuk kita kupas tuntas. Tapi kita sama-sama bisa jujur menjawab: Elit umat Islam Indonesia sejatinya memang sama sekali tidak bermutu. Rakyat dan umat agaknya kian paham bahwa elit umat ini nyaris tak ada yang tulus. Tiap kali elit itu perlu emosi massa, mereka pakai rasa keadilan dan keagamaan untuk tujuan-tujuan politik mereka sendiri, untuk kemudian tentu saja mereka juga yang terdepan melupakan dan mengabaikan.

Kebobrokan elit di atas masih harus ditambah dengan gempuran ekstremisme dan terorisme yang bertubi-tubi. Jauh sebelum geger Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), redaksi Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times (IT) telah mengingatkan umat dan publik Indonesia akan datangnya wabah ini. Pilihan keliru untuk menjadikan ekstremisme dan terorisme sebagai cara melawan penindasan Barat dan dominasi etnik tertentu di Indonesia tampaknya kembali diambil. Tak ayal lagi bahwa dosa terbesar tetap ada di pundak ulama dan elit umat yang seolah larut dalam dua cara yang keliru itu. Atau jika kita mau ungkapan lain bisa pula kita katakan bahwa elit umat ini terjebak permainan asing yang hendak menyeret mereka ke perangkap yang sama: meluapkan rasa ketertindasan dengan ekstremisme dan terorisme.

Terus terang, dengan performa elit umat seperti itu, baik yang bergabung dengan ekstremisme maupun yang terlanjur terjun bebas dalam kubangan sekulerisme, tahun 2014 adalah kegagalan total buat mereka semua. Kini pilihan mereka adalah menengah, mengambil jalan lurus yang terbesar, atau hilang diterjang pukulan balik yang mematikan.

Tahun 2014 memberi kita semua, umat Islam Indonesia, sebuah pelajaran penting: tak ada yang sudi melaksanakan cita-cita kita kecuali kita sendiri. Tak ada yang mau menopang pembangunan kecuali kita sendiri sudah bangun. Tak ada yang akan melaksanakan niat berdikari kita kecuali kita sendiri yang menunaikan. Tak ada yang akan menolong kita kecuali diri kita sendiri. Dan karenanya, toleransi dan solidaritas di antara kita lebih penting ketimbang siapa yang paling benar—atau paling salah—di antara kita.

Pelajaran penting lain buat kita dari tahun lalu adalah absurditas cara-cara ekstremis dan fanatik dalam melawan penindasan dan membangun masa depan. Siapa bilang ada musuh yang takut dengan ekstremisme?! Karena salah satu musuh terbesar manusia, kemanusiaan dan Islam itu sendiri sejak semula adalah ekstremisme dan fanatisme. Sebaliknya, salah satu teman terbesar Islam adalah akal sehat dan jalan tengah. Ekstremisme adalah cara membunuh musuh di belakang dengan menusuk lambung sendiri. Konon iblis menolak sujud kepada Adam karena ingin menjadi paling ekstrim dalam bertauhid. Dia seolah ingin mengatakan bahwa aku hanya mau bersujud kepada-Mu, yang menciptakanku dan menghidupkanku dan memberiku segalanya. Tapi, seperti juga iblis, kaum ekstremis selalu berakhir jadi yang paling pecundang.

Buat kaum elit yang masih ingin menjual ekstremisme dan fanatisme untuk menggerakkan massa dan meraih dukungan, ingatlah bahwa korban pertama ekstremisme adalah para penganjurnya sendiri. Di Irak dan Suriah sudah banyak buktinya. Para penganjur ekstremisme dan fanatisme justru paling pertama yang harus membunuh dirinya demi melestarikan kemuspraan ide-ide mereka. Korban selanjutnya adalah para pengikutnya yang saat musuh menguat justru mereka bakal menjadi lebih ekstrem dan fanatik untuk dapat melampiaskan kemarahan dan kesalahan kepada sesama mereka dan puncaknya saling bantai. Dan korban terbesar dari semua itu tak lain adalah Islam itu sendiri.

Indonesia tahun 2014 menjadi saksi bahwa masa depan umat bukan lagi punya satu golongan, tapi punya semua. Umat harus menyadari bahwa Islam yang dianutnya adalah sarana penyelamatan buat semua manusia, bukan saja buat yang telah menganut dan meyakininya. Celakanya, Islam justru kerap terganjal oleh perilaku para penganutnya. Tepatlah pernyataan termashur Muhammad Abduh bahwa Islam mahjubun bil muslimin (Islam tertutupi oleh para penganutnya). Elit dan umat Islam seperti tak bosan-bosan berperilaku seperti novus homo, nouveau riche atau orang kaya baru (OKB). Perasaan takabur yang meluap dari larva inferioritas dan ketidakpercayaan diri yang meluber.

Umat ini harus menyadari bahwa perang terhadap ketidakadilan, ekstremisme, fanatisme, teror, rasisme dan segala bentuk diskriminasi adalah pelaksanaan ajaran Islam itu sendiri. Jangan sampai perang semulia ini buat umat Islam seperti barang asing, sehingga serigala-serigala berbulu domba yang lebih lantang menyuarakannya. Umat ini harus berada di garda paling paling depan menghadapi intoleransi, fanatisme, ekstremisme dan rasisme, baik yang muncul dari internal maupun eksternal. Umat Islam juga harus menyadari bahwa perbedaan paham dan pendapat di dalam umat ini telah menjadi sebuah bagian tak terpisahkan dari perjalanan agama ini.

Dan seperti semua yang lain, pihak yang berhasil meraih kekuasaan saat ini harus ingat bahwa mereka tak boleh memainkan sentimen-sentimen yang telah terbukti gagal dan usang. Jangan sampai ada lagi penguasa—dari mana pun latarbelakangnya—yang ingin menutupi kegagalannya dengan menggairahkan sentimen kebencian. Jangan menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Barangkali ada dalam lingkaran kekuasaan yang mencoba memelintir kesalahan, kelemahan dan kelalain sendiri dengan menimpakannya pada fenomena rasisme, ekstremisme dan fanatisme. Padahal, sistem alam tak mungkin memutar sebab sebagai akibat dan sebaliknya.

Elit yang saat ini berkuasa perlu kita ingatkan bahwa ISIS dan elemen-elemen ekstremis dari kalangan minoritas umat Islam tidak boleh menjadi kambing hitam. Kita semua tahu dengan pasti bahwa mereka hanyalah segelintir dan insignifikan. Kegagalan pemerintahan Jokowi dan kepemimpinan Ahok di DKI sama sekali tidak bisa ditimpakan kepada momok ISIS atau sebangsanya. Keduanya perlu diperlakukan secara terpisah, meski dapat saling mempengaruhi. Ekstremisme dan fanatisme dapat kian menggila di tengah negara dan pemerintahan yang tak becus, tak adil, tak hadir. Sebaliknya juga demikian.

Fenomena ISIS dan gerakan-gerakan ekstremis lain di Indonesia ada dalang dan mandornya. Lusinan badan intelijen dan pusat kajian Indonesia sudah tahu, tapi malu atau tak mau tunjuk hidung. Mereka mengira bisa memanfaatkan kelompok-kelompok ini untuk tujuan jangka pendek mereka. Tapi, alas, tak ada yang bisa memanfaatkan kebodohan dan kegelapan yang terkandung dalam ekstremisme, fanatisme, rasisme dan terorisme. Yang merasa bisa memanfaatkan sikap-sikap bodoh dan kelompok-kelompok yang menganut kebodohan sebagai akidah itu tentu sedang berhalusinasi. Cepat atau lambat sangkur-sangkur ekstremis dan fanatik itu akan menikam tuannya sendiri. Tanyakan pada Amerika Serikat dan Arab Suadi tentang apa yang mereka terima dari elemen-elemen al-Qaeda binaan mereka sendiri.

Terakhir, 2014 sebenarnya menerbitkan harapan besar soal kepemimpinan dan haluan baru Indonesia. Jangan sampai harapan ini layu sebelum berkembang. Tanda-tanda kepalsuan yang lamat-lamat kita lihat ini semoga saja tidak benar-benar nyata. Semoga saja kita sedang mimpi buruk dan segera terjaga. Semoga Allah, Rasul dan Ahlulbaitnya menjaga bumi tercinta, bumi orang-orang tua, nenek moyang dan anak cucu kita semua. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times]
Comment