QR CodeQR Code

Konsolidasi Mekah, Politik Agama atau Agama Politik

12 Jul 2017 04:45

Islam Times - Tapi apa yang menjadi persoalan penting adalah landasan semua gerakan yang marak itu dilakukan oleh pelaku-pelaku yang semuanya mengatasnamakan agama. Jadi, sorotan semustinya adalah standar agama sebagai tuntutan, bukan apa atau siapa. Yang benar-benar mengacu pada tuntutan Ilahi sebagai landasan berpikir dan bertindak. Jika semua gerakan-gerakan yang ada itu adalah benar dan dapat dimasukan kedalam langkah politik atau perjuangan memperjuangkan agama dengan berpolitik.


Hingga hari ini, Habib Rizieq Shihab (HRS) masih berada di Mekah, Saudi Arabia, bahkan menurut beberapa laporan media nasional, HRS sempat bertemu dengan beberapa tokoh politik dan partai.  Sejauh ini, masih belum jelas dimana posisi HRS di dalam kasus baladacintarizieq, tapi satu yang pasti, HRS sudah tidak ada di tanah air lagi, sementara polisi tidak dapat berkutik untuk memulangkannya kembali meski dengan menerbitkan sekian surat perintah pemulangan.

Dalam suasana ini, banyak aktifitas HRS yang di hubung-hubungkan dengan agama atau diatasnamakan agama. Karena memang tidak bisa dipungkiri, HRS adalah figur agama dan dianggap sebagai ulama, sehingga semua aktivitasnya selalu diatasnamakan agama atau setidaknya dihubungkan dengan agama. Dengan demikian, ketika ada hal tertentu atau even yang keluar dari HRS, akan telampau sulit untuk dikeluarkan dari moral dan aturan agama.

Bersamaan dengan munculnya surat panggilan polisi untuk memperjelas posisi HRS dalam kasus baladacintarizieq, HRS meninggalkan Indonesia untuk alasan umrah, kemudian dengan alasan mengurus desertasi, dan yang terakhir tidak menggunakan alasan apapun.

Tentu kasus ini tidak bisa dihukumi, dan tidak bisa menghukumi apakah HRS terlibat dalam kasus baladacintarizieq atau tidak, sebab, sampai kini kasus tersebut belum sampai ke ranah hukum yang dapat memastikan dimana posisi HRS sebenarnya. Justru untuk memperjelas posisi itulah, polisi kemudian mengundang HRS untuk memastikan posisinya. Hanya saja kasus ini sangat menukik bagi seorang tokoh agama, yang dapat dianggap sebagai bentuk pembunuhan karakter seorang tokoh yang sedang membawa nama agama di tengah masyarakat Indonesia.

Ditanah air bersamaan dengan itu, marak gelombang politik yang menggunakan HRS sebagai ikon gerakan mengatasnamakan agama sebagai landasan "perjuangan".

Tapi apa yang menjadi persoalan penting adalah landasan semua gerakan yang marak itu dilakukan oleh pelaku-pelaku yang semuanya mengatasnamakan agama. Jadi, sorotan semustinya adalah standar agama sebagai tuntutan, bukan apa atau siapa. Yang benar-benar mengacu pada tuntutan Ilahi sebagai landasan berpikir dan bertindak. Jika semua gerakan-gerakan yang ada itu adalah benar dan dapat dimasukan kedalam langkah politik atau perjuangan memperjuangkan agama dengan berpolitik.

Ada beberapa hal yang menarik, karena antara Islam dan muslimin serta politik agama, dan agama politik sudah berbaur, sehingga kebanyak orang tidak mampu memisahkan hal ini. Apa lagi bagi orang awam yang cenderung melandasi setiap perilakunya dengan perasaan belaka atau dengan sekedar cinta.

Kecintaan pada agama adalah bagian dari apa yang diklaim masyarakat umum untuk melakukan tindakan, dan dengan inilah para pemain politik selalu menggunakan masyarakat sebagai ornamen untuk mengambil keuntungan dalam berpolitik. Sentimen keagamaan adalah satu hal yang betul-betul dapat memicu penggalangan kekuatan politik.

Sayang di pucuk kekuasan sana, banyak pemain politik yang tidak dikenal pemilik cinta. Pemilik cinta dimainkan dengan ungkapan-ungkapan manis yang dapat memicu sentimen dan benturan massa dengan terus beraksi mengatasnamakan agama atau jihad fi sabilillah.

Sisi lain para pemain politik juga lihai dengan apa yang harus mereka lakukan dengan menggunakan istilah agama, dan bahasa para ulama untuk menggesek senar sentimen massa untuk bergerak sesuai dengan telunjuknya. Para pemain politik ini tidak pernah takut dengan konsekwensi agama, dan hanya menggunakan agama untuk alat kendaraan politiknya. Mereka hanya menggunakan pemeluk agama (muslimin) untuk mendapatkan dukungan sebesar-besarnya untuk menggalang kekuatan.

Para pemain politik cukup pandai menggunakan caranya, memahami apa yang harus di kompromikan dengan menggunakan agama. Tidak penting, apakah ummat Islam akan berpecah belah atau harus berkelahi satu sama lain, atau saling menghujat. Sampai disini, para pemain politik tidak pernah mau melihat adanya konsekwensi logis dari akibat yang dilakukannya yaitu benturan antar muslimin, saling memusuhi dan saling menyalahkan dengan landasan pemikiran-pemikiran "agama" yang disemburkan para pemain-pemain politik.

Ini yang sangat berbahaya, tanpa disadari oleh pemain politik yang kadung membawa makna agama lain dari makna agama yang semustinya. Mereka sejatinya sudah membuat Islam baru untuk kepentingan politik, dan menafsirkan makna kandungan dasar agama untuk kepentingan politik. Lebih lagi, para politikus itu sudah melegitimasi dirinya dan klaim sebagai pembawa ajaran benar sesuai dengan tuntunan agama, dan menyatakan kalau tidak bersamanya, maka tidak menjalankan agama dengan benar. Atau kalau tidak bersama mereka, berarti tidak memperjuangkan agama Islam. Sampai-sampai muncul anggapan bahwa berjuang demi penegakan agama harus bersama mereka, bersama para pemain politik. Orang-orang seperti ini sangat lihai menggunakan istilah agama untuk menggesek senar sentimen agama di tengah masyarakat majemuk.

Disana ada massa dan masyarakat awam yang hanya memiliki cinta kepada Allah, kepada agamanya dan simbol-simbol agama. Masyarakat hanya memiliki cinta dan harapan kalau hidupnya dan matinya untuk agama. Mereka akan menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkan agama, siapa tahu bisa mati syahid di jalan ini.
Masyarakat awam hanya memiliki cinta dan keikhlasan belaka, tapi terkadang tanpa dilandasi dengan ilmu-ilmu agama cukup dan juga tidak mengetahui ilmu dunia yang semestinya. Dengan ini massa dan masyarakat awam akan mudah menjadi mainan dan orkesta para pemain politik berkedok agama.

Untuk itu, sangat perlu sedikit berpikir, bahwa massa dan masyarakat awam perlu diberi pelajaran untuk berfikir tentang langkah-langkahnya, perbuatannya, atau apa yang mereka katakan sebaga jihad fi sabilillah.

Sangat penting untuk mengingatkan kembali masyarakat untuk berfikir lebih jernih, untuk apa dan siapa sebenarnya, kemudian siapa yang mereka ikuti, kemana tujuan akhir massa ini.

Andai saja tujuan akhirnya adalah untuk Allah Swt, maka aturan, ahlak dan politik Allah Swt semata yang harus digunakan. Semua aspek kehidupan perlu dilihat dengan timbangan agama Ilahi, bukan pandangan pemain-pemain politik. Ketika ada ajakan yang dapat memisahkan muslimin dengan muslimin lain, mukminin dengan mukminin lain, minimalnya perlu berhenti sejenak untuk berpikir dan merenungkannya, karena ini jelas bertentangan dengan semangat dan syiar Islam.

Orang bisa saja berjihad, berperang atas nama agama, tapi siapa imamnya, apa alasannya, dan bagaimana jihad itu dijalankan. Ada beda antara jihad di jalan Allah dengan hujat menghujat, menghina dan menjatuhkan marwah orang lain, atau membunuh semua yang dianggap musuh tanpa ada pengadilan agama terlebih dahulu, tanpa ada hakim syari.

Imam Ali as ketika ditebas pedang oleh Ibnu Muljam saat shalat, Imam masih meminta kepada Imam Hasan putranya untuk memaafkan sang pembunuhnya. Bahkan Imam Ali as membiarkan musuhnya meminum susu terlebih dahulu dan kemudian beliau meminum susu tersebut juga dari gelas yang sama.

Begitulah perjuangan menegakkan agama, demi agama dan bukan mengatasnmakan agama belaka. [Islam Times]


Story Code: 652692

News Link :
https://www.islamtimes.org/id/article/652692/konsolidasi-mekah-politik-agama-atau

Islam Times
  https://www.islamtimes.org