QR CodeQR Code

Donald Trump Pukul Paku Lagi di Peti Kematian AS

2 Jan 2020 11:26

Islam Times - Amerika Serikat melancarkan serangan udara dengan mengerahkan pesawat jet tempur F-15 terhadap salah satu kelompok Hashd Shaabi (Pasukan Mobilisasi Populer) yang diduga "didukung" Iran.


Serangan itu menargetkan pangkalan militer kelompok Kataib Hizbullah (gerakan sosial-politik yang berhasil menghempaskan ISIS dari Irak dan Suriah) di Irak dan Suriah.
 
Serangan yang dilancarkan pada Ahad, 29 Desember 2019 itu menghantam lima pangkalan, tiga diantaranya di Anbar Irak, dan dua lainnya di Suriah.
 
Dalam pernyataan, militer AS mengatakan serangan tersebut sebagai pembalasan setelah pembunuhan seorang kontraktor sipil AS pada Jumat pekan lalu dalam serangan roket di sebuah pangkalan militer AS di Irak.

Mengutip laporan al-Arabiya, komandan Kataib Hizbullah bernama Abu Ali Khazali syahid dalam serangan, dan sebanyak 18 anggota Kataib meninggal serta lebih dari 50 lainnya terluka.

Well, di penghujung tahun 2019 nampaknya nasib AS akan berakhir dengan penuh kehinaan yang efeknya bisa dinikmati di seluruh Timur Tengah, bahkan dunia.

Pasca serangan militer 29 Desember itu, dunia berspekulasi tentang bagaimana perlawanan Kataib Hizbullah akan merespon balik. Para pakar media korporat yang dibiayai Pentagon berkicau dengan berupaya "menganalisis" bahwa Kataib Hizbullah tidak akan membalas karena tidak didukung rakyat. Tetapi, fakta menjungkirbalikkan kicauan media koperat. Dengan perhitungan matang, perlawanan Irak itu merespon serangan dengan menggunakan alat legitimasi populer dan pengaruh politiknya.

Kedutaan Besar Amerika Serikat di Baghdad, Irak, didemo dan diduduki pada Selasa 31 Desember hingga sekarang ini. Serangan massa itu sebagai balasan serangan udara AS di pangkalan Kataib Hizbullah. "Serangan di kedutaan Baghdad digerakkan oleh teroris" kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, pada Rabu 1 Januari 2020.

Demonstrasi dan kemarahan massa yang ditumpahkan di kompleks kedutaan besar AS -- yang sekaligus merangkap sebagai pusat komando politik dan militer untuk melawan Irak -- menunjukkan fakta penting, baik rakyat maupun pemerintah Irak sama-sama tidak menginginkan kehadiran AS di Irak.

Setelah menginvasi Irak pada 2003 untuk menyingkirkan Saddam Husain didikan AS dan menghabiskan miliaran dolar untuk menyokong kuasanya di Irak, AS nyatanya tidak memiliki dukungan di akar rumput. Jelas, ini adalah penghinaan politik terbesar.

Seorang professor Iran, Dr. Mohammad Marandi menyoroti kepicikan AS dan mengatakan, "Ketika bangunan diplomatik Iran diserang, para pakar Barat mengklaim hal itu mencerminkan kehendak rakyat Irak. Tapi, ketika warga Irak yang marah menduduki kedutaan AS sebagai tanggapan atas pembantaian tentara Irak yang bertempur di garis depan melawan ISIS, para pakar mengklaim hal itu diatur dari Tehran".

Dr. Marandi kemudian menunjukkan fakta, meski biaya propogandanya di Irak sangat mahal tapi AS tidak menyadari kenyataan di Irak. Dengan begitu, AS akan terus mengulangi kesalahan militer dan politik.

Fakta menujukkan sebaliknya, pemerintah dan rakyat Irak mengutuk keras pelanggaran yang dilakukan AS terhadap kedaulatan negara dan mengecam rencana Washington yang berusaha keras membatasi hubungan baik antara Iran-Irak.

Saat menginvasi Irak, AS berdalih bahwa Iran akan menggunakan wilayah Irak sebagai landasan sistem pemerintahan Islam Iran. Juga bahwa Saddam menyimpan Senjata Pemusnah Massal (WMD) dan pelanggaran hak asasi manusia. Tapi itu hanyalah tipu-tipu AS. Dan hari ini tak ada orang yang memamah tipuan besar itu.

Setiap tindakan apapun yang akan dilakukan AS di masa mendatang terhadap gerakan perlawanan Irak yang bersekutu dengan Iran, secara signifikan akan diberangus. Tapi Kataib Hizbullah sudah mewujudkan tekad kuat untuk tidak hanya duduk diam, dan siap menanggapi kekaisaran Trump yang memudar.

Well, serangan AS terhadap gerakan perlawanan Islam Irak akan direspon, dan setiap respon akan semakin merusak citra AS sebagai kekaisaran yang perkasa. Dan ini akan mengikis reputasi dan pengaruhnya yang sudah menurun.

Mick Mulroy, pejabat tinggi Pentagon untuk Kebijakan Timur Tengah mengatakan, "Pentagon berusaha memberikan sentuhan akhir pada rencana dengan menggunakan taktik perang tidak teratur untuk menekan eskalasi militer Iran di Timur Tengah".

Pernyataan Mulroy adalah pengakuan tidak langsung bahwa pengeluaran militer Washington yang besar ternyata tidak mampu menelurkan tujuan AS dan, karenanya, itu pemborosan uang yang sangat besar.

AS yang memproklamirkan diri sebagai Negara Adidaya itu dipaksa meniru strategi militer negara yang telah dikenai sanksi bertubi-tubi selama lebih dari 40 tahun.

Serangan langsung AS terbaru terhadap Irak adalah tanda pertama, perangnya yang tidak teratur telah gagal sejak awal.

Washington yang terlibat secara langsung dalam serangan, tidak memiliki komitmen, kompetensi, dan yang terpenting adalah AS tengah menghadapi kekuatan perwakilan dengan dukungan penuh dari kaum proletar Irak.

Semakin AS melakukan intervensi langsung dengan menyerang gerakan Islam yang semakin besar yang bersekutu dengan Iran, semakin besar pula marginalisasi di Timur Tengah dan bahkan di seluruh dunia.

Dan apa yang terjadi di Irak, menunjukkan bahwa Rezim paria Trump telah memukulkan palu pada paku lagi di peti kematiannya dan imperialisme AS. [IT]


 


Story Code: 835988

News Link :
https://www.islamtimes.org/id/article/835988/donald-trump-pukul-paku-lagi-di-peti-kematian-as

Islam Times
  https://www.islamtimes.org