0
1
Komentar
Saturday 4 January 2020 - 13:40

Pembunuhan Martir yang Hidup: Awal dari Akhir AS di Timur Tengah

Story Code : 836434
Jenderal Qassem Soleimani
Jenderal Qassem Soleimani
Beberapa jam setelah serangan, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengonfirmasi, pihaknya telah melakukan serangan udara di Baghdad, yang menargetkan Jenderal Qassem Soleimani. Menukil situs Times of Israel, Jumat 3 Januari 2020, target utama serangan adalah Qassem Soleimani yang merupakan kepala Pasukan Elit Quds, dan Abu Mahdi al-Muhandis, wakil ketua Komite Mobilisasi Populer (al-Hashd al-Shaabi), yang aktif melawan kelompok Takfiri ISIS.
 
Pentagon juga mengonfirmasi serangan tersebut sebagai arahan langsung Presiden Donald Trump. Tanpa persetujuan Kongres.

"Atas arahan Presiden, militer AS telah mengambil tindakan tegas untuk melindungi personel AS di luar negeri dengan membunuh Qassem Soleimani," kata Pentagon dalam sebuah pernyataan.

Teror yang menargetkan Jenderal Qassem Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis disambut dengan pesta pora oleh elit-elit Tel Aviv dan Pentagon. Di sisi lain, sebagian besar dunia seolah tak mempercayai pembunuhan pengecut itu.

Jika dalam kampanye begitu garang mengecam rezim Obama yang dituduhnya telah menyeret pasukan AS ke dalam medan perang sia-sia di Timur Tengah, kini Trump justru menempatkan dunia pada jurang perang katastropik baru yang efeknya sangat mengerikan.

Dengan komando langsung, tanpa melalui mandat Kongres, Trump sekali lagi bertindak gegabah dengan meremehkan segala konsekuensi tindakan pengecutnya.

Trump jumawa merasa mendapat meterai persetujuan dari rezim kolonial Israel dan rezim Arab Saudi. Kedua rezim ini berada di garis depan dalam mendesak, menghasut dan memicu sentimen publik yang membuat Amerika berkomitmen terlibat dalam perang habis-habisan melawan Iran. Tujuannya jelas, menghancurkan dan memaksa perubahan rezim revolusioner Islam Iran sejak kemenangan Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan rezim boneka Amerika Serikat, Syah Pahlevi.

Runtuhnya rezim dinasti Pahlavi menandai berakhirnya pengaruh Amerika dan Israel di Iran dan kepemimpinan Imam Khomeini kemudian mendefinisikan kembali kebijakan dalam dan luar negeri Iran.

Pandangan dunia baru yang diadop oleh pemimpin revolusioner Iran, menempatkan negara ini menjadi kuat sejajar dengan negara-negara lain dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang pernah tertindas, dan terpinggirkan. Kemenangan Revolusi Islam juga memutus tali hubungan dan dukungan Syah kepada rezim Apartheid di Afrika Selatan yang berakhir tanpa jejak.

Di bawah kepemimpinan Imam Khomeini pula, Iran bertindak luar biasa dalam usaha memerdekakan Palestina. Dunia dipaksa mengingat kembali tahun 1979, bagaimana Iran menyerahkan kedutaan Israel di Tehran pada gerakan kemerdekaan Palestina PLO, dibawah kepemimpinan Yasser Arafat. Sebuah pesan kuat Iran yang dikirim ke seluruh dunia bahwa Republik Islam Iran dengan tegas menolak penciptaan "negara" ilegal Israel di Palestina!.

Meski berada di bawah payung embargo ketat dari berabagi sisi, Iran tetap menjaga independensi dan integritas teritorialnya melalui cara-cara kreatif dan dinamis. Dalam iklim tekanan ekstra dan permusuhan inilah kemudian muncul unit-unit pertahanan diri seperti Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) dan Unit Pasukan Quds. Unit Quds berkembang menjadi gerakan kuat dan benteng efektif terhadap berbagai ancaman militer dan intelijen asing yang rumit dan canggih di bawah kepemimpinan Syahid Qassem Soleimani.

Di antara mereka yang saat ini merayakan pembunuhan Qassem adalah penghasut perang dan pembunuh massal Benjamin Netanyahu, yang mencoba beragitasi ceroboh untuk perang melawan Iran.

Sadar bahwa Iran satu-satunya negara yang mampu menghadapi desain hegemonik Israel untuk mengkonfigurasi ulang Timur Tengah dan Levant, Trump dan Netanyahu berusaha menggait dan mendapatkan dukungan penuh pemimpin idiot Saudi Arabia, Mohammed bin Salman, yang mampu memanipulasi Mesir dan UEA sebagai pemandu sorak untuk memuluskan segenap agenda Zionisme.

Dengan terus menyuntikkan ketegangan di kawasan dan berusaha membuka kran perang skala penuh, Trump dan Netanyahu berupaya mengalihkan masalah domestik yang dihadapi masing-masing. Trump menghadapi pengadilan impeachment sementara Netanyahu menghadapi sejumlah tuduhan korupsi yang sangat memalukan.

Apa pun motif mereka, kedua pemakan bangkai ini telah menarik pelatuk permusuhan sehingga dunia menebak-nebak mengenai apa tanggapan Iran. Bagaimana dan kapan, adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus ditelusuri oleh analis militer pasca teror Jenderal Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis.

Pertanyaan yang paling penting dan mendasar adalah apakah dengan membunuh ahli strategi militer Iran yang tangguh itu, akankah IRGC dan pasukan Quds terguling dan runtuh?

Mereka yang memiliki ilusi keruntuhan semacam itu hanya bersandar pada asumsi naif, dan akan menyadari betapa salahnya pembunuhan tanpa hormat itu. Kini AS telah memerintahkan warganya untuk segera meninggalkan Irak.

Pengumuman cepat mengenai pengganti komandan baru Pasukan Quds oleh Imam Ali Khamenei adalah indikasi kedalaman yang dimiliki oleh Iran untuk melanjutkan warisan perjuangan Syahid Qassem Soleimani. Pemimpin Tertinggi Islam itu pun memperingatkan para pelaku segera akan mendapat ganjaran pembalasan.
 
"Ganjaran keras menunggu siapa pun yang berada di balik tindakan kriminal ini. Baik kawan maupun musuh komandan IRGC yang mati syahid harus tahu bahwa gerakan dan perlawanan akan berjalan satu. Bahkan gerakan itu akan lebih semangat sekarang karena kemenangan akhir sedang menunggu," tegas Imam Ali Khamenei pada Jumat, 3 Januari 2020, usai menunjuk Brigadir Jenderal Ismail Qaani sebagai pengganti Mayor Jenderal Qassem Solaimani.

Qassem Soleimani, diakui atau tidak, adalah satu tokoh pembebasan di dunia, meski bagi Amerika Serikat ia dianggap musuh nomor satu. Pengaruhnya di Irak dan kawasan sangat luar biasa. Dia duri dalam daging Pentagon.

Imam Ali Khamenei menggambarkan Jenderal Soleimani sebagai "martir yang hidup".

"Soleimani dan pasukan Qudsnya merusak banyak pekerjaan Washington dengan Muslim Syiah Irak dan membatalkan upaya diplomatik dan militer AS di Lebanon. AS sebagian besar berperang sebagai proksi perang di Irak melawan Quds yang dipimpin Soleimani", begitu komentar Jenderal David Petraeus, mantan Direktur CIA, pada 2011.

"Itu membuat diplomasi sulit jika Anda berpikir bahwa Anda akan melakukan cara diplomasi tradisional dengan berurusan dengan kementerian luar negeri negara lain karena dalam hal ini, itu bukan kementerian. Itu adalah aparat keamanan," lanjut Petraeus.

Di black list oleh Washington sebagai teroris, Soleimani menjadi musuh kuat AS sampai akhir hayatnya. Pada 2018, Soleimani mengancam Donald Trump dengan mengatakan, "Anda memulai perang ini, tetapi kami yang akan memaksakan akhirnya. Karena itu Anda harus berhati-hati menghina orang-orang Iran dan presiden Republik kita. Kami berada di dekatmu, bahkan Anda tidak bisa membayangkannya," pungkasnya.

Dalam waktu dekat, Iran akan memperingati empat puluh satu tahun Revolusi Islam yang telah mencabik-cabik dominasi dan hegemoni AS di pusara bumi penting ini. Artinya, teror terhadap Qassem Soleimani ini akan dianggap sebagai titik balik perubahan peta di Timur Tengah. Yang paling sederhana, gerakan Muqawamah berpotensi meluluhlantakkan seluruh kepentingan dan pangkalan AS di Suriah, Irak dan kawasan. Hal yang tidak pernah terbayangkan oleh Trump dan Netanyahu. [IT]

 
Comment


Indonesia
Mana suara anjing2 amerika tidak ada yg menggonggong ( LIGA ARAB ) mereka hanya menggonggong keras kalo orang amerika yg mati