0
Monday 8 April 2019 - 14:59

Di Intervensi Saudi, Libya di Ambang Perang Saudara Penuh

Story Code : 787531
Jenderal Khalifa Haftar (kanan), berjabat tangan dengan kepala Dewan Presiden Libya yang didukung PBB, Fayez al-Sarraj, di kota timur al-Marj pada 31 Januari 2016
Jenderal Khalifa Haftar (kanan), berjabat tangan dengan kepala Dewan Presiden Libya yang didukung PBB, Fayez al-Sarraj, di kota timur al-Marj pada 31 Januari 2016
Sementara pemerintah yang didukung Barat juga berjanji akan melakukan serangan balasan besar-besaran terhadap kelompok pimpinan Haftar.

PBB menyerukan gencatan senjata dua jam dan mendesak wilayah pinggiran selatan ibukota untuk memungkinkan evakuasi warga sipil yang terluka.

Persaingan antara kedua kubu mengancam Libya terjerumus ke dalam perang saudara skala penuh setelah Haftar pada Kamis melancarkan serangan besar di Tripoli.

Libya yang kaya minyak hancur oleh kekacauan sejak pemberontakan pada 2011 dan kemudian diintervensi militer NATO yang membunuh diktator Muammar Gaddafi.

Perdana Menteri Libya yang didukung Barat, Fayez al-Sarraj pada Sabtu menuduh Haftar mengkhianatinya dengan memulai serangan militer ke ibukota.

Kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli dalam pidato yang disiarkan televisi mengatakan, Haftar telah "menusuk kami dari belakang" dengan meluncurkan apa yang ia sebut sebagai kudeta.

Tentara Nasional Libya (LNA) yang dikomandoi Haftar mengatakan pasukannya telah maju ke pinggiran selatan ibukota dan mengambil bekas bandara internasional yang kemudian mendorong Sarraj memperingatkan tentang "perang tanpa pemenang".

"Kami telah mengulurkan tangan ke arah perdamaian, tetapi setelah agresi yang terjadi dari pihak pasukan Haftar ... ia tidak akan menemukan apa pun selain kekuatan dan ketegasan," kata Sarraj.

Pasukan Haftar, yang didukung oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir, sempat diperlambat kemajuan mereka di tengah serangan udara "intensif" oleh pasukan yang mendukung GNA.

Kelompok-kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Sarraj memindahkan berbagai jenis kendaraan bermesin machinegun dari Misrata menuju ibukota Libya untuk mempertahankan kota itu pada hari Sabtu.

Sarraj juga meminta masyarakat internasional untuk menghentikan upaya militerisasi negara kaya minyak itu, dalam sebuah teguran terselubung untuk Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir.

"Dan kata terakhir untuk negara-negara yang mendukung pertempuran Libya: takutlah kepada Allah, dan berhenti mencampuri urusan kami. Tabelnya akan berubah satu hari. Allah melindungi Libya," katanya.

Seorang jenderal senior Libya mengatakan pada hari Sabtu bahwa pasukan Haftar menggunakan senjata Emirat dan Mesir dalam upaya mereka untuk merebut ibukota.

Arab Saudi juga memberikan kepada Haftar lampu hijau untuk serangan itu dan memberinya uang, tambahnya.

Menurut harian Inggris The Guardian, Haftar bertemu Raja Salman dari Arab Saudi pada 27 Maret di Riyadh untuk membahas rencana serangannya.

Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) adalah pemerintah sementara Libya yang dibentuk berdasarkan ketentuan Perjanjian Politik Libya, sebuah inisiatif yang dipimpin oleh PBB, ditandatangani pada 17 Desember 2015.

Perjanjian tersebut dengan suara bulat disahkan oleh Dewan Keamanan PBB yang menyambut baik pembentukan Dewan Presidensi untuk Libya dan mengakui bahwa Pemerintah Kesepakatan Nasional adalah satu-satunya otoritas eksekutif yang sah di Libya. Pada 31 Desember 2015, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Libya, Aguila Saleh Issa menyatakan dukungannya untuk Perjanjian Politik Libya. Sejak itu, Kongres Nasional Umum mengkritik pemerintah persatuan di berbagai bidang yang dianggap bias dalam mendukung saingannya, Dewan Perwakilan Rakyat.

Pemerintah Kesepakatan Nasional memiliki 17 menteri dan dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Sarraj. Pertemuan pertama kabinet Pemerintah Kesepakatan Nasional berlangsung pada 2 Januari 2016 di Tunis. Kabinet penuh itu terdiri dari 18 menteri yang diumumkan pada Januari 2016.

Perdana Menteri GNA, Fayez al-Sarraj, dan enam anggota Dewan Presiden lainnya serta kabinet yang diusulkan tiba di Tripoli pada 30 Maret 2016. Keesokan harinya, dilaporkan bahwa GNA telah mengambil alih kantor perdana menteri.

Sementara pada awal 2014, Libya diperintah oleh Kongres Nasional Umum (GNC), sebuah majelis yang didominasi oleh para Islamis yang gagal mempertahankan kekuasaan mereka sebelum mandat berakhir, dan secara sepihak memperluas kekuasaan mereka. Pada tanggal 14 Februari 2014, Jenderal Khalifa Haftar memerintahkan pembubaran GNC dan pembentukan komite pemerintahan sementara untuk mengawasi pemilihan umum yang baru. GNC menolak perintah ini.

Konflik dimulai dua bulan kemudian, pada tanggal 16 Mei, ketika tentara yang setia kepada Jenderal Haftar melancarkan serangan darat dan udara besar-besaran (dengan nama kode Operasi Martabat) terhadap kelompok pasukan Islamis di Benghazi.

Dua hari kemudian, pasukan Haftar berupaya untuk membubarkan Kongres Nasional Umum (GNC) di Tripoli. Konflik ini menghalangi upaya GNC yang berencana untuk mengacaukan pemilu tanggal 25 Juni 2014. Pemilu ini mengangkat Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pengganti GNC. Dalam pemilu ini, kelompok Islamis yang mendominasi GNC menyerah dan menyatakan kekalahannya. Konflik ini meluas pada 13 Juli setelah pasukan Islamis melancarkan Operasi Fajar, berupaya menguasai Bandar Udara Internasional Tripoli dalam upaya untuk memperkuat kekuasaan mereka. Gagal menguasai bandar udara, mereka menghancurkan sejumlah pesawat di landasan dan membuatnya tidak bisa dioperasikan.

Haftar dan pendukungnya menjelaskan bahwa Operasi Martabat adalah "pembenaran menuju jalan revolusi" dan "perang terhadap terorisme". Lawannya mengklaim bahwa ia sedang mengupayakan kudeta.

Kelompok milisi Islamis Ansar al-Sharia (terlibat dalam serangan Benghazi 2012) menuduh bahwa operasi Haftar adalah bentuk perang terhadap Islam yang didukung oleh Barat dan mendeklarasikan pembentukan "Emirat Islam Benghazi". [IT]


 
Comment