0
Monday 6 January 2020 - 09:05

Soal Natuna, DPR Minta Pemerintah Jangan Terprovokasi Tiongkok

Story Code : 836767
KRI Tjiptadi halau kapal penjaga pantai Tiongkok di Natuna. (Foto: ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I)
KRI Tjiptadi halau kapal penjaga pantai Tiongkok di Natuna. (Foto: ANTARA FOTO/HO/Dispen Koarmada I)
"Pemerintah tidak boleh terprovokasi. Kita harus hati-hati melihat situasi yang berkembang di Natuna. Hukum laut internasional tidak memberi celah untuk terjadinya konflik yang mengeras dan berujung perang," kata Willy dalam pernyataan yang diterima Medcom.id, Minggu 5 Januari 2020.
 
Willy menambahkan, pemerintah juga tidak boleh terpancing dengan pernyataan Kementerian Luar Negeri Tiongkok yang berkeras dengan konsep internalnya. Menurut dia, pernyataan tersebut hanya menunjukkan arogansi Negeri Tirai Bambu untuk memprovokasi Indonesia masuk dalam masalah internasional di wilayah laut.

"Tiongkok sangat tahu dan cukup cerdik membaca situasi yang ada dan kekuatan yang dimilikinya. Semua negara pasti bersepakat untuk menghindari perang, karenanya akan mendorong penyelesaian melalui mekanisme negosiasi, dan Tiongkok punya pengaruh cukup untuk digunakan 'memaksa' Indonesia," serunya.
 
Beijing mengklaim wilayah Natuna Utara masuk dalam sembilan garis putus mereka. Garis tersebut ditarik berdasarkan hukum tradisional Tiongkok yang tidak sesuai dengan hukum internasional Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
 
Willy juga mengingatkan tahun depan akan ada persiapan periodic review UNCLOS yang bisa menjadi celah masuk Tiongkok memasukkan isu-isu kelautan mereka. Dalam catatan ratifikasi UNCLOS 2006, Tiongkok tidak memilih International Court of Justics (ICJ), International Tribunal, International Arbitral Tribunal maupuun Special Arbitral Tribunal sebagai upaya penyelesaian sengketa wilayah laut dengan negara lain.
 
Menurut Willy, Tiongkok memilih menggunakan perangkat yang disediakan di pasal 298 UNCLOS, yang pada intinya menunjuk juru damai dan langsung berhubungan dengan negara bersengketa. Itulah kenapa, imbuh dia, Tiongkok tidak mengakui putusan arbitrase sengketa dengan Filipina.
 
"Kalau kita belajar dari apa yang terjadi di Sipadan-Ligitan, maka kita tidak perlu mengikuti provokasi Tiongkok untuk menegosiasikan Natuna. Tidak atas dasar ekonomi, investasi atau sejenisnya," seru dia.
 
Dia menegaskan bahwa Natuna tidak untuk dinegosiasikan dengan siapapun karena sepenuhnya milik Indonesia. Dan kedaulatan Indonesia di Natuna diakui dunia internasional.
 
"Kita bisa bersahabat dengan siapapun seperti juga kita bisa tegas berkenaan dengan kedaulatan NKRI terhadap negara manapun. Provokasi Tiongkok harus kita tepis bersama dengan juga menguatkan spiral lobi internasional," tegasnya.
 
Beberapa waktu lalu, kapal nelayan Tiongkok mencuri ikan di wilayah perairan Natuna yang merupakan milik Indonesia. Kapal itu rupanya dilindungi penjaga pantai Tiongkok.
 
Pasukan penjaga pantai Tiongkok bahkan mengusir nelayan Indonesia yang tengah mengambil ikan di wilayah tersebut. Padahal, wilayah ini jelas milik Indonesia berdasarkan hukum internasional.
 
Mengetahui kejadian ini, Kementerian Luar Negeri segera memanggil Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia untuk menjelaskan duduk perkara. Pemerintah Indonesia juga memberikan nota protes diplomatik kepada Tiongkok.
 
Kemenlu RI juga terus menegaskan bahwa perairan Natuna adalah wilayah kedaulatan Indonesia yang harus dihormati. Pasalnya, wilayah ini tercatat milik Indonesia berdasarkan hukum internasional, UNCLOS. [IT/Medcom]


 
Comment