0
Wednesday 15 July 2020 - 12:38

AS dan China Masuki Perang Dingin

Story Code : 874521
Presiden AS dan China (detik).
Presiden AS dan China (detik).
Dilansir New York  kemarin  menulis, Myers mengupas hal ini.

Selama bertahun-tahun, tulis Myers, para pejabat dan sejarawan menolak gagasan bahwa Perang Dingin baru muncul antara Amerika Serikat dan China. Dengan alasan kontur dunia saat ini tidak dapat dibandingkan dengan dekade ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet bergulat meraih supremasi.

Dan kini, garis-garis tengah ditarik dan hubungan-hubungan mulai terganggu; meletakkan dasar untuk sebuah konfrontasi yang akan memiliki banyak karakteristik dan bahaya Perang Dingin. Ketika kedua negara adikuasa itu berselisih soal teknologi, wilayah, dan kekuasaan, mereka sebenarnya tengah menghadapi risiko yang akan meningkat menjadi konflik militer.

Hubungan ini semakin dipenuhi dengan ketidakpercayaan dan permusuhan yang mendalam, serta ketegangan penuh dari dua kekuatan yang berebut untuk keunggulan, terutama di daerah-daerah di mana kepentingan mereka bertabrakan: di dunia maya dan luar angkasa, di Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan, dan bahkan di Teluk Persia.

Pandemi coronavirus telah mengubah celah yang ada menjadi jurang yang sulit diatasi, tidak peduli siapa yang akan menjadi presiden Amerika tahun ini.

“Kebijakan Tiongkok terkait Amerika Serikat saat ini didasarkan pada kesalahan perhitungan strategis yang kurang informasi dan penuh dengan emosi, kemauan serta kefanatikan McCarthy,” kata Wang, mengingatkan publik pada perang dingin yang menggambarkan tingkat ketegangan saat ini.

"Sepertinya setiap investasi Cina didorong secara politis, setiap siswa Cina adalah mata-mata dan setiap inisiatif kerja sama adalah skema dengan agenda tersembunyi," tambahnya.

Politik domestik di kedua negara ini telah mengeraskan pandangan dan memberikan amunisi kepada kubu-kubu pendukung kebijakan perang.

Pandemi semakin memicu ketegangan, terutama di Amerika Serikat. Trump merujuk coronavirus dengan kiasan rasis, sementara Beijing menuduh pemerintahan Trump menyerang China untuk mengurangi kegagalannya menangani virus.

Malangnya, kedua negara memaksa negara lain untuk memihak bahkan meski mereka enggan melakukan. Pemerintahan Trump, misalnya, berhasil membuat Inggris menolak raksasa teknologi China Huawei ketika mereka mengembangkan jaringan 5G. Sementara China mengumpulkan negara-negara untuk menggelar demo dukungan publik terkait kebijakannya di Xinjiang dan Hong Kong. Di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, 53 negara -dari Belarus hingga Zimbabwe- menandatangani pernyataan yang mendukung UU keamanan baru China untuk Hong Kong. Hanya 27 negara yang mengkritiknya, kebanyakan dari mereka adalah negara demokrasi Eropa, bersama dengan Jepang, Australia dan Selandia Baru. Blok semacam itu tidak akan asing pada puncak Perang Dingin.

China juga menggunakan kekuatan ekonominya yang besar sebagai alat pemaksaan politik. Misalnya, memotong impor daging sapi dan gandum dari Australia karena pemerintahnya menyerukan penyelidikan internasional tentang asal-usul pandemi. Beijing juga mengatakan akan memberi sanksi pada produsen kedirgantaraan Amerika Lockheed Martin atas penjualan senjata terbaru ke Taiwan.

AS tak tinggal diam. Dengan China mengancam kapal-kapal dari Vietnam, Malaysia dan Indonesia di Laut Cina Selatan, Amerika Serikat mengirim dua kapal induk melalui perairan bulan lalu dalam unjuk kekuatan yang agresif. Bahaya tampaknya tak terhindarkan sekarang karena Departemen Luar Negeri menyatakan bahwa aksi China itu ilegal.

Kemudian Jepang angkat suara dan mengatakan bahwa Cina berusaha "mengubah status quo di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan." Hepang bahkan menyebut Cina sebagai sebuah ancaman jangka panjang yang lebih serius daripada Korut yang bersenjata nuklir.

Michael A. McFaul, mantan duta besar Amerika untuk Rusia dan profesor studi internasional di Stanford University, mengatakan manuver China baru-baru ini "terlalu luas dan melampaui batas," menyamakannya dengan salah satu momen paling sempurna dari Perang Dingin.

"Itu mengingatkan saya pada Khrushchev," katanya. "Dia mencaci maki dan tiba-tiba berada dalam krisis rudal Kuba dengan A.S."

Serangan terhadap Beijing terus tumbuh. Ketegangannya sangat jelas di bidang teknologi, di mana China berupaya bersaing dengan dunia dalam teknologi-teknologi canggih seperti kecerdasan artifisial dan microchip.

Ketika pekan lalu TikTok ditutup di Hong Kong karena UU keamanan nasional baru Cina di sana, raksasa teknologi Amerika, Facebook, Google, dan Twitter bereaksi dan mengatakan mereka akan berhenti meninjau permintaan data dari otoritas Hong Kong.

Zhao Kejin, profesor hubungan internasional di Universitas Tsinghua menulis bahwa di bawah dampak coronavirus, berbagai kekuatan di AS dalam pemilu tahun ini akan difokuskan pada China. Hubungan China-AS tengah menghadapi momen paling serius sejak hubungan diplomatik antara keduanya terjalin, lanjutnya.[IT/NYT/AR]

 
Comment