0
Thursday 5 August 2021 - 17:36

Diplomat Senior: Israel Berhubungan dengan Mayoritas Negara Arab, Termasuk Irak

Story Code : 946871
“Selama dua puluh tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri selalu berhubungan dengan hampir semua pemain di Dunia Arab,” kata direktur Divisi Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Israel yang akan secegara pensiun, Haim Regev, saat briefing di Yerusalem seperti dilansir The Times of Israel.

Sembari mengklarifikasi bahwa daftar kontak rahasia ini tidak termasuk Libanon, Suriah, dan Yaman, ia menegaskan bahwa Baghdad termasuk dalam list kontak.

Pada tahun 2019, duta besar Irak di Washington Fareed Yasseen mengatakan, “Ada alasan obyektif yang mungkin menyerukan pembentukan hubungan antara Irak dan Israel,” berbicara dalam bahasa Arab di sebuah acara berjudul “Bagaimana Irak Berurusan dengan Perkembangan Regional dan Internasional Saat Ini” di Pusat Kebudayaan dan Dialog Arab Al-Hewar di Washington.

Yasseen mencatat bahwa ada komunitas Irak yang penting di Israel dan mereka masih bangga dengan atribut Irak mereka. “Di pernikahan mereka, ada budaya perayaan Irak. Di pernikahan mereka, ada lagu-lagu Irak,” lanjut diplomat kawakan yang bertugas di DC sejak November 2016 itu. Yasseen juga mencatat teknologi Israel yang “luar biasa” di bidang pengelolaan air dan pertanian.

“Tetapi alasan objektif saja tidak cukup,” tambahnya, menekankan bahwa ada “alasan emosional dan lainnya” yang membuat komunikasi terbuka antara Yerusalem dan Baghdad menjadi tidak mungkin.

Meskipun ia menghadapi serangan balasan dari pejabat Irak lainnya, Yasseen tidak dipanggil pulang.

Irak mengirim pasukan yang signifikan untuk melawan Israel pada tahun 1948, 1967, dan 1973, dan Saddam Hussein menembakkan rudal Scud ke Israel selama Perang Teluk 1991.

Israel mendukung pemberontak Kurdi di Irak utara, mengebom reaktor nuklir Osirak pada 1981, dan dilaporkan sesekali menyerang proksi Iran di Irak.

Regev dikirim ke Brussel untuk mengepalai misi Israel ke Uni Eropa setelah lima tahun memimpin Divisi Timur Tengah.

Bersama dengan diplomat keliling Israel di Dunia Arab Bruce Kashdan, Regev adalah salah satu diplomat kunci yang meletakkan dasar perjanjian normalisasi Abraham Accords yang ditandatangani Israel dengan UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko pada tahun 2020.

Regev merefleksikan perubahan yang disaksikannya dalam cara negara-negara Arab berhubungan dengan pejabat Israel yang berkunjung. Ketika dia terbang ke markas Badan Energi Terbarukan Internasional Abu Dhabi pada tahun 2014, dirinya harus menunggu di ruang samping bandara selama empat puluh menit, dibawa ke hotel tertentu, diperintahkan untuk tidak menggunakan kartu kreditnya sendiri dan tidak bertindak yang memancing perhatian orang lain.

“Ketika saya datang dua tahun kemudian,” katanya, “butuh sepuluh menit. Saya membayar sendiri untuk hotel. Mereka tidak menyembunyikan saya, dan tidak ada gelembung khusus di sekitar saya.”

Persiapan dan kerja keras selama bertahun-tahun terbayar, kata Regev. “Ketika terobosan Abraham Accords terjadi, kami sudah ada di sana.”

Sekarang setelah empat perjanjian normalisasi baru ditandatangani—selain kesepakatan damai yang sudah ada sebelumnya dengan Mesir dan Yordania—hampir separuh populasi dunia Arab tinggal di negara yang memiliki hubungan diplomatik terbuka dengan Israel.

Regev percaya bahwa daya tarik utama bagi negara-negara Arab untuk mengakui Israel adalah fakta bahwa itu adalah satu-satunya negara Timur Tengah yang secara terbuka berperang melawan Iran dan proksinya, dan hubungan dekat Yerusalem dengan AS.

“Kami adalah jembatan menuju Amerika,” tegasnya.

Dia juga menggarisbawahi kecakapan teknologi Israel dan keberhasilannya dalam memerangi pandemi COVID-19 sebagai alasan negara-negara Arab tertarik untuk menjalin hubungan terbuka dengan Israel.

Pada saat yang sama, Regev mengakui bahwa masih ada kendala yang signifikan.

Ia menunjuk Yerusalem—khususnya Temple Mount—sebagai sumber ketegangan, bahkan untuk negara-negara yang sudah memiliki hubungan dengan Israel. “Ini masalah yang sangat sensitif. Kami menanganinya sepanjang waktu.”

Kerusuhan di Yerusalem pada bulan Mei, dan konflik 11 hari berikutnya dengan Hamas, tidak diragukan lagi membuat gelombang dalam upaya Israel untuk melanggengkan Perjanjian Abraham.[IT/AR]

 
Comment