0
Saturday 12 November 2016 - 17:00

Demo 4 November: Agar Tak Terjebak dalam Rawa Plot Amerika

Story Code : 583163
Orasi Fahri Hamzah dalam demo 4 November (Detik)
Orasi Fahri Hamzah dalam demo 4 November (Detik)
Efek demo 4 November lalu benar-benar menguras segenap energi seluruh bangsa Indonesia, seolah persoalan bangsa dengan sendirinya akan selesai jika kasus dugaan "penistaan" agama itu diselesaikan dengan tekanan-tekanan seperti demo. Padahal, bagi mereka yang ikut demo-pun, terdapat banyak perbedaan yang sangat mendasar, utamanya jika dikaitkan dengan motivasi dan bahkan tujuan hadir dalam demo. Begitu juga bagi mereka yang mendukung demo, meski ada unsur-unsur persamaannya tapi pasti terdapat perbedaan mencolok termasuk motivasi dan bahkan tujuan.

Dengan berbagai bukti yang dimiliki Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times, titik perbedaan paling mendasar antara mereka yang menolak dan mendukung demo 4 November terdapat pada kesimpulan bahwa demo itu jelas-jelas didesain untuk menguntungkan Amerika Serikat. Para pelaku dan aktornya adalah didikan Syetan Besar, bahkan modus yang dipakai benar-benar murni produk Amerika Serikat.

Artinya, penolakan IT dalam demo 4 November itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan dukung mendukung Ahok, karena IT tidak mau terperosok kedalam rawa plot yang dibuat Amerika Serikat untuk merusak dan membenamkan Indonesia ke dalam pergumulan dan perselisihan etnis serta agama. Secara rasional, sikap IT benar-benar sejalan dengan sikap dua organisasi besar Islam seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang tidak mendukung demo, termasuk organisasi Ahlul Bait Indonesia (ABI). ABI dengan lugas dan tegas memberikan kebebasan dan ruang seluas-luasnya dengan tidak melarang hadir dan tidak pula melarang untuk tidak hadir kepada komunitasnya.

Lebih jauh lagi, IT memandang bahwa krisis besar kemanusiaan di belahan dunia yang kemudian menyemangati bursa analisis itu merupakan krisis yang jauh-jauh hari sudah menimpa Indonesia. Dalam pandangan para pengamat dalam negeri, krisis di Indonesia lebih sering dihubung-hubungkan dengan negara-negara Timur Tengah, termasuk Suriah, Irak, Libanon, Afghanistan dan Libya. Wajar memang, karena memang ada kesamaan pelaku dan modus di antara corak dan warna krisis-krisis tersebut.

Dan yang pasti, sebelum kejadian demo 4 November itu, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bangsa Indonesia sudah mulai memasuki babak-babak krisis sejak 9 Juli 2014 ketika pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil menjadi kampiun dalam Pilpres dengan perolehan suara sebesar 53,15%, yang mendepak pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Secara kronologis, kalau dirunut, krisis bermula dengan pembentukan Koalisi Merah Putih (KMP) pada 14 Juli 2014 pimpinan Prabowo Subianto yang terdiri dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar. Pembentukan KMP itu terjadi hanya selang lima hari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Puncaknya adalah usaha penundaan pelantikan presiden dan wakil presiden, dengan berbagai alasan yang dibuat-buat untuk membungkus dan melegitimasi transisi kekuasaan sambil sekaligus memunculkan kekosongan kekuasaan, termasuk saat protes atas "sengketa" pemilu di Mahkamah Konstitusi. Di sini mereka sudah melakukan upaya penggalangan massa dengan menggelar demo meski kemudian demo itu impoten, tidak menghasilkan apa-apa.

Tapi bukan Amerika namanya jika tidak menggunakan cara paling kasar sampai paling lemah gemulai, tidak lagi menggunakan bedil dan senapan tapi lebih mengandalkan akseptabilitas kehadiran di tengah masyarakat. Retorika dan propaganda serta opini publik (Vox Populi) menjadi instrumen paling ampuh yang diperumit dengan kecanggihan teknologi dan informasi yang terus mengejar target-target sampai ke ruang-ruang yang paling privat dan sempit. Melalui media Youtube gagasan dan ide cemerlang kemudian dicetuskan; "Ahok" telah menistakan agama Islam.

Ketika sistem negara dibangun di atas akseptabilitas belaka, tentu retorika dan propagandalah yang jadi panglima karena mampu memperngaruhi tuntutan mereka. Ironisnya, letupan-letupan tuntutan hasil dan produk rekayasa partai-partai itu mempengaruhi pikiran dan sentimentil tokoh-tokoh, ulama, Habaib dan aktivis. Dengan kata lain, tokoh-tokoh didikan Amerika seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang handal beretorika itu mampu menciptakan opini dan memenuhi kebutuhan yang membuat rakyat tergantung kepada kehendak mereka. Saat itulah mereka mengeksploitasi rakyat. Di sini, tidak ada lagi yang namanya demokrasi, persaingan, norma. Yang ada hanya formalitas buatan dengan tujuan tak lain makar dan penjegalan.

Puncaknya adalah logika ini, "Ahok dipenjara, atau Jokowi tumbang!" sebuah cermin jelas propaganda Vox Populi. Segala kecanggihan teknologi ternyata banyak mempercepat penuntasan lawan dengan sederhana dan murah meriah. Cara-cara yang sebenarnya paling primitif dan kasar disandingkan dengan kegemulaian retorika dan imut-imut diplomasi.

Kronologi #Diplomasi Kuda:

Pada Senin pagi, 30/11/16, panggung politik Indonesia ujug-ujug dikejutkan dengan kunjugan Presiden Joko Widodo ke kediaman Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (pimpinan KMP) di Hambalang, Kabupaten Bogor. Dalam pertemuan itu, menurut beberapa informasi, banyak hal dibahas. Salah satu hal penting yang dibahas adalah aksi 4 November.

Yang kemudian tidak dibaca oleh sebagian besar orang adalah, saat kedua tokoh ini melakukan pertemuan "Diplomasi Kuda, orang pertama yang meminta dan menyuarakan agar demonstrasi memprotes Ahok berlangsung damai dan sejuk adalah Prabowo Subianto. Bukan Presiden Joko widodo.

Jangan sampai ada unsur yang mau memecah belah bangsa. Kita negara majemuk, banyak suku, agama, dan ras. Kalau ada masalah, kita selesaikan dengan sejuk dan damai,” ujar Prabowo.

Andai saat itu yang menyuarakan dan meminta agar demonstrasi berlangsung damai dan sejuk adalah Jokowi, maka ceritanya akan berbeda.

Layak diingat, Hashim Djojohadikusumo pernah mengatakan Prabowo Subianto sangat dekat dengan Amerika Serikat.

"Prabowo is very pro-American. He went to American high school, American grade school. I mean, you know, he’s been going to American school all his life. He went to Special Forces, he was in Fort Benning, Fort Bragg. You know, I’m pro-American. Until recently I was an investor in California, in a big way, in the oil business."

Hashim juga pernah berjanji jika Prabowo Subianto menjadi presiden Indonesia, Amerika akan menjadi mitra istimewa bagi partai Gerindra.

“Yes, the US will be a privileged partner with a Gerindra administration," janjinya kala itu.

Dus, selang satu hari usai #Diplomasi Kuda, pada Selasa malam, 01/11/2016, Prabowo Subianto sowan ke presiden Partai PKS, Sohibul Iman di Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Setelah bertemu Prabowo, Sohibul Iman mempersilahkan para pendemo untuk ambil hak, tapi menjaga konstitusi.

"Kami imbau saudara yang menyatakan pendapat hak konstitusi, menghargai proses hukum, due process of law. Yaitu, silakan Anda ambil hak Anda, tapi jangan melanggar hukum dan konstitusi," katanya usai pertemuan.

Dari kronologis ini, seseorang semestinya tidak perlu menjadi seorang Ali Moertopo terlebih dahulu untuk memahami makna pesan dan kepada siapa pesan itu disampaikan Prabowo dan Sohibul Iman. Jokowi cerdas dan elegent. Dia berhasil menjinakkan seorang Prabowo yang dianggap sebagai perpanjangan tangan CIA dan Pentagon di Jakarta.

Pada Jumat, 28/10/2016, Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab, K.H Bachtiar Nasir, Ustad Malidu Rahmat, Prof. Jawahir Tontowi dan lain-lain atas nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, sowan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Dalam pertemuan itu, mereka mendesak DPR mengawal penuntasan perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok yang SUDAH berjalan di Bareskrim Polri.

Padahal semua tahu, bahwa dalam undang-undang, DPR sama sekali tidak punya wewenang dan hak untuk mengawal laporan yang sudah masuk ke Bareskrim Polri karena Bareskrim akan menangani kasus yang sudah dilaporkan sesuai dengan aturan mereka. Pertanyannya kemudian adalah, apa makna dan arti kunjungan Habib Rizieq ke DPR? Kenapa mereka hanya bertemu dengan dua Wakil Ketua DPR dan bukan Ketua DPR?!

Jadi, berdasarkan data dan informasi yang diterima Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times, gerakan atas nama dugaan "penistaan" al-Quran yang dilakukan Ahok adalah gerakan makar dan kudeta yang dilakukan Amerika Serikat lewat tangan tokoh-tokoh partai lokal, yang kemudian mempengaruhi para ulama, Habaib, aktivis dan bahkan masyarakat sipil.

Penolakan Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times terhadap aksi demo 4 November kemarin, semata langkah untuk tidak masuk ke dalam plot yang dirancang dan didesain Amerika Serikat yang bertujuan menjadikan masyarakat Indonesia seperti masyarakat Afrika, dan Afghanistan, Suriah, Irak dan Libya yang akan berakhir dengan pembersihan etnis dan mazhab. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times]
Comment