0
Friday 30 March 2018 - 01:32

Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) Versus Islam adalah Solusi

Story Code : 714634
Protes TPP (HPI Iran)
Protes TPP (HPI Iran)
Ketika kita mendengar nama Vietnam dan Amerika Serikat, ingatan kita langsung tertuju pada perlawanan heroik rakyat Vietnam saat melawan invasi imperialis AS. Perang yang sering disebut Perang Indochina Kedua itu merupakan konflik panjang yang terjadi antara tahun 1957 sampai 1975 antara Komunis Vietnam Utara melawan Kapitalis Vietnam Selatan dan sekutu utamanya, Amerika Serikat.

Beberapa dekade kemudian, Vietnam, yang secara tradisi masih mempertahankan simbol bendera dengan warna merah sebagai dasarnya dan bintang segi lima warna kuning, adalah satu dari dua belas negara yang menandatangani Perjanjian Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang dipimpin AS. Sayangnya, negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim ikut terlibat dalam TPP itu termasuk Brunei dan Malaysia. Awalnya, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Strategis Trans-Pasifik (TPSEP atau P4) adalah perjanjian dagang antara Brunei, Chili, Selandia Baru, dan Singapura. Tujuannya adalah mendorong liberalisasi negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.

Pada 2010, negosiasi dilakukan untuk merumuskan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang merupakan perluasan dari TPSEP. TPP adalah rencana perjanjian dagang yang dirundingkan oleh pihak Australia, Brunei, Chili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat, dan Vietnam hingga Agustus 2013.

Kemitraan Trans-Pasifik digambarkan sebagai perjanjian “berstandar tinggi” yang diarahkan untuk menangani masalah perdagangan abad ke-21. Negosiasi yang berlangsung dihujani kritik dan protes dari masyarakat, aktivis, dan pejabat, dikarenakan sifatnya yang rahasia, luasnya cakupan perjanjian, dan klausul kontroversial dalam rancangan perjanjian yang bocor ke publik. Pada tanggal 13 November, rancangan bab Hak Properti Intelektual dalama perjanjian ini dibocorkan oleh WikiLeaks. (Rujuk: https://wikileaks.org/tpp/pressrelease.html )

Sejak runtuhnya Uni Soviet, kebanyakan negara-negara dunia tidak memiliki pilihan selain bergabung dengan sistem ekonomi global saat itu, sebuah sistem di mana 62 orang kaya memiliki dan mengendalikan sebanyak 3,6 miliar orang, menurut laporan Oxfam. (Rujuk: https://www.oxfam.org/en/pressroom/pressreleases/2016-01-18/62-people-own-same-half-world-reveals-oxfam-davos-report)

https://www.oxfamamerica.org/explore/stories/62-people-own-as-much-as-half-of-the-world/

Bahkan ketika partai-partai “Islam” mampu berkuasa di negara-negara seperti Turki, Irak, Maroko, Tunisia, dan Mesir, mereka justru gagal memberikan teori ekonomi alternatif yang nyata atau model-model praktis. Kasus Tunisia dan Mesir sangat menyakitkan dan membuat frustrasi muslimin. Pemerintah Gerakan al-Nahda dan Ikhwanul Muslimin (IM) yang saat itu berkuasa setelah pemberontakan 2011 yang didorong oleh ketidakadilan ekonomi di antara alasan-alasan lain, tiba-tiba rontok dalam hitungan bulan. Bahkan “solusi” mengatasi masalah ekonomi yang mereka tawarkan mencerminkan proposal biasa dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang membuat pemerintah ini tidak berbeda dari para pendahulu mereka di bidang penting ini.

Sisi lain, Republik Islam Iran adalah satu pengecualian yang setidaknya telah memberikan contoh mencengangkan dalam hal pengembangan ekonomi di bawah sanksi ketat dari Barat, namun demikian, tetap harus waspada terhadap beberapa elit yang mencoba ingin terintegrasi ke dalam sistem ekonomi global di era pasca-sanksi.

Membuka kran perdagangan ke seluruh dunia bukanlah masalah dalam negeri, dan itu pasti akan bermanfaat jika dilakukan dengan baik dan benar. Namun, tunduk pada dikte “kebijaksanaan” pendekatan teoretis yang diberikan Barat di belakang sistem ekonomi global saat ini, dan tidak memiliki model Islam alternatif bagi umat Islam dan juga dunia lainnya adalah masalah dan bencana besar. Realistis dari konsekuensi itu adalah bencana. Dalam hal ini, mungkin kita hanya perlu melihat sejenak negara seperti Meksiko dan Argentina yang diterpa dampak buruk akibat pendekatan Barat terhadap pemikiran ekonomi mereka.

Pemikir perintis Islam seperti Sayyid Qutb penulis السلام العالمي والإسلام dan Muhammad Baqir al-Sadr penulis إقْتِصادُنا telah melakukan pekerjaan besar dalam mencoba menyajikan solusi alternatif Islam untuk mengganti model ekonomi Barat. Namun, banyak lagi upaya yang dibutuhkan hari ini oleh para pemikir Muslim untuk membangun karya-karya sebelumnya dan memformalkan pendirian Islam pada masalah besar dan berbagai masalah utama yang terkait dengan ekonomi saat ini. Hal ini termasuk tidak terbatas pada pertumbuhan kemiskinan, ketidaksetaraan, perubahan iklim, peran pemerintah dan pasar, perdagangan bebas, dan bagaimana menyelesaikan masalah masing-masing negara dalam kerangka prinsip-prinsip keadilan Islam dan kebaikan.

Sejauh ini sekedar slogan seperti “Islam adalah solusi” yang didengungkan sebagian mahasiswa dan penasihat ekonomi dalam studi dunia Muslim dan menerapkan teori ekonomi Milton Friedman, suka tidak suka tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi saat ini.

Pengemasan ulang penawaran suku bunga dalam kesepakatan tingkat keuntungan “halal” yang dilakukan oleh bank “Islam” atau “Bank Syariah” dan pasar keuangan saat ini hanya dapat memuaskan individu Muslim dan menciptakan ilusi bahwa mereka dapat menghindari riba. Dan jika cara itu dilakukan dalam sistem saat ini, justru tidak mencerminkan inti dari pesan Islam di bidang keuangan dan ekonomi. Pekerjaan amal dan penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan yang dapat diakses untuk menggantikan kegagalan negara adalah berkat besar dan jelas sangat diperlukan, tetapi itu hanya sedikit efek yang ditimbulkan, dan tidak memberikan solusi terhadap penyebab masalah ekonomi mendasar.

Menjadi mandiri tidak berarti hanya bebas dari sepatu bot dan bayonet tentara kolonial. Karena hingga hari ini, beberapa negara sedang diduduki secara langsung oleh kekuatan militer asing dan sangat sedikit negara yang mengklaim benar-benar independen.

Kekuatan kolonial yang membuka pintu kran ekonomi seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dengan berbagai variaannya di Asia dan Afrika pada abad terakhir ini dengan cepat mendapat sambutan hangat melalui jendela kekuatan dan ide-ide ekonomi baru yang dianggap sebagai alternatif. Yang terakhir ini justru lebih berisiko, karena melibatkan pikiran masyarakat setempat yang berpengaruh.

Untuk menguji seberapa suksesnya mereka, mari kita tanyakan pertanyaan berikut: “Jika Palestina dibebaskan dari pendudukan Zionis besok, apakah umat Islam memiliki visi tentang bagaimana cara menjalankan dan mengelola ekonominya? Atau apakah akan ada rush ke Bank Dunia atau IMF untuk meminta saran dan pinjaman untuk membantu dalam “rekonstruksi” negara? Jawaban jujur ​​atas pertanyaan ini membutuhkan pencarian jiwa bebas dan refleksi serius, dan memaksa Muslimin untuk berpikir lebih jernih lagi tentang masalah-masalah yang mengakar di dalam masyarakat Muslim saat ini. [Faza]

Sumber: http://www.hpiiran.com/artikel/2018/03/29/kemitraan-trans-pasifik-tpp-versus-islam-adalah-solusi/
Comment