0
1
Komentar
Wednesday 17 April 2013 - 15:20
Blokade Warga Sampang

Gawat! Rois al Hukama, Divonis Bebas

Story Code : 255017
Sampang
Sampang

Sebagaimana kami duga sebelumnya, Rois Al Hukama (36), pemeran antagonis Syawal Berdarah di Sampang, akhirnya divonis bebas oleh PN Surabaya hari ini, 16 April 2013. Padahal, JPU telah mengajukan tuntutan hukuman 2 (dua) tahun penjara atasnya. Vonis ini tentu saja menambah panjang daftar kelam wajah peradilan di negeri ini.

Bagaimana tidak? Sebuah drama penegakan hukum peristiwa penyerangan terhadap Syiah Sampang pada tanggal 26 Agustus 2012 telah berakhir hari ini. Ketua Majelis Hakim Ainur Rofiq, S.H., M.H. telah membacakan putusan membebaskan Rois Al Hukama dari dakwaan, karena tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan JPU, yaitu pasal 338, 354 ayat 2, 355 ayat 1 dan 170 ayat 2 dan 3 dimana semuanya merupakan pasal junto pasal 55 KUHP. "Karena terdakwa tidak terbukti melakukan dakwaan kesatu, kedua dan ketiga, maka dibebaskan dari segala dakwaan JPU dan mengembalikan harkat serta martabat terdakwa," tegas Ainur Rofiq. Sebuah pukulan keras bagi warga Syiah Karanggayam dan Bluuran, Sampang, yang sudah 8 bulan mengungsi di GOR tennis indoor Sampang. Seorang yang selama ini nyata-nyata menjadi penyebar kebencian, oleh Pengadilan Negeri Surabaya diputus bebas. Tentu saja para pengungsi Syiah tidak pernah ingin tahu hal-hal teknis hukum apa yang menyebabkan Rois Al Hukama bebas, karena itu urusan Negara cq aparat penegak hukum, yang pasti mereka telah memberikan kesaksian tentang apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan sendiri baik di hadapan penyidik dan pengadilan.

Rois sedari awal telah diperankan sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab, dia yang sejak tanggal 28 Agustus 2012 dibawa ke Mapolda Jatim untuk menjalani pemeriksaan intensif. Jika dilihat dari hasil BAP saksi-saksi korban, maka terlihat bahwa Rois disebut sebagai orang yang sebelum kejadian aktif melakukan dakwah-dakwah kebencian terhadap komunitas Syiah Sampang. Dakwah kebencian itu misalnya berupa pernyataan bahwa jika ada orang Syiah bertamu, maka tempat duduknya harus dicuci dan berbagai penginaan serupa lainnya. Selain itu, peran sentralnya dalam penyerangan tanggal 26 Agustus 2012 adalah sebagai salah satu orang yang menyiarkan perintah melalui pengeras suara agar massa bergerak dan berkumpul ke kediaman Tajul Muluk.

Pada tahap berikutnya, adanya seorang saksi bernama Mat Alih yang ketika bertanya mengapa rumah orang Syiah dibakar semuanya, darinya didapatkan keterangan bahwa Rois menyatakan “biar kapok semuanya” (di pengadilan saksi mencabut kesaksiannya tentang hal itu). Pertanyaannya, cukupkah bagi penyidik dan selanjutnya jaksa menghubungkan keterangan saksi-saksi ini dengan sangkaan terhadap peran Rois sebagai orang yang menyuruh melakukan pembunuhan terhadap almarhum P. Hamamah, mengeroyok P. Tohir, sehingga luka berat, membakar rumah Bu Sumaidah dan menampar Ummah ibunya? Dalam hal ini, maka pendapat penyidik Polri dan Jaksa tidaklah memadai, akan tetapi sentuhan keterangan seorang ahli psikologi dan atau ahli pidana yang sangat mumpuni untuk menghubungkan dua perbuatan hukum ini sangatlah penting. Faktanya tidak ada satu ahli pun yang memberi keterangan di muka persidangan. Terlebih diketahui selama proses persidangan terdakwa Saniwan, Muhsin, Mad Safi dan Hadiri tidak pernah menyebut sama sekali bahwa Roislah yang menyuruh mereka melakukan perbuatan pidana pada tanggal 26 Agustus 2012. Artinya pemilihan pasal-pasal dalam surat dakwaan JPU lemah sedari awal.

Dalam surat dakwaan JPU disebutkan dengan tegas bahwa Bupati Sampang kala itu, Noer Tjahja pada tanggal 14 Februari 2012 dalam acara peringatan Maulid Nabi, di halaman SDN Karanggayam IV, 200 m dari rumah Tajul Muluk, dalam sambutannya yang sangat provokatif memerintahkan agar mengusir warga Syiah (faktanya pengusiran itu sudah dilaksanakan dengan metode membakar 49 rumah warga Syiah) dan dia yang menyatakan akan bertanggung jawab. Lebih jauh, NoerTjahja menyatakan, “ada 21 orang anak yang bersekolah di pondok aliransesat“ dan “kalau saya bukan bupati Sampang masalah ini sudah selesai, masa bupati carok?“ (dua hal ini tidak dikutip jaksa dalam surat dakwaan), bahkan iatidak ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Polri dalam kejadian ini. Padahal tema inilah yang dikedepankan pihak penyerang sebagai legitimasi kekerasan pada jamaah Syiah, yaitu permasalahan anak sekolah. Tentu dari dakwaan itu penyidik dan JPU sudah mengantongi cukup bukti (dugaan kami ada rekaman audiovisualnya) tentang pidato Bupati Sampang saat itu.

Menelisik lebih jauh sebelum peristiwa telasan ketupat berdarah, pada tanggal 19 Juli 2012 bertempat di Gersempal, Omben, Sampang, ada pertemuan kelompok intoleran Karanggayam dan Bluuran dengan Kyai Bassra yang membahas salah satunya adalah pengembalian kelompok Syiah ke aswaja. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan pertemuan para Kyai Bassra dan Forpimda Sampang di pendopo kabupaten Sampang, pada tanggal 7 Agustus 2012. Salah satu cara proses pengembalian ke aswaja adalah bahwa anak Syiah yg bersekolah di luar kota akan diberi beasiswa untuk mondok di pesantren aswaja. Tanggal 23 Agustus 2012, bertempat di Lenteng Proppo, Pamekasan kembali diadakan pertemuan kelompok intoleran. Rangkaian kegiatan ini jika diselidiki dengan serius pasti akan diketemukan siapa yang menjadi dalang penyerangan 26 Agustus 2012. Temuan kami para penyerang tidak hanya terdiri dari kelompok intoleran desa Karanggayam dan Bluuran tetapi ada pengerahan massa dari Bangkalan dan Pamekasan.

Fakta-fakta ini menunjukan bahwa dalang peristiwa penyerangan ini bukan semata-mata Rois, tetapi ada tangan lain yang lebih besar yang mengerahkan massa. Fakta ini juga menunjukan tidak adanya unsur spontanitas dari kelompok intoleran tetapi memang sudah direncanakan sejak jauh hari. Kewajiban pemerintah cq aparat keamanan dapat menuntaskan permasalahan ini, mengungkap dalang yang sebenarnya di balik peristiwa ini. Ploting sedari awal tentang peran Rois sebagai dalang tunggal peristiwa ini jelas tertolak belakang dengan adanya temuan-temuan di atas. Sekali lagi, dakwaan JPU terhadap Rois lemah sedari awal.

Apakah lalu Rois dibiarkan bebas begitu saja dari jeratan hukum melihat perannya yang sangat besar menyebarkan ujaran kebencian di tengah masyarakat, sehingga semakin memanaskan dan mempertajam situasi konflik di Karanggayam dan Bluuran? Tentu sangat tidak adil bagi komunitas Syiah Sampang, tentu juga tidak adil bagi kelompok-kelompok minoritas Indonesia lainnya. Pembebasan Rois adalah preseden buruk penegakan hukum, pembelaan dan perlindungan Negara bagi kaum minoritas. Ujaran kebencian terhadap minoritas yang dibiarkan begitu saja akan mereproduksi pola-pola yang sama bagi kelompok intoleran untuk menyerang baik fisik maupun psikis kelompokminoritas di Repubik ini.

Oleh karena itu kami Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia :

1. Menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia cq Polri cq Polda Jatim untuk segera mengungkap dalang peristiwa ini.

2. Memproses kembali Rois Al Hukama menggunakan pasal ujaran kebencian seperti yang diatur dalam pasal 156 KUHP.

3. Memproses mantan bupati Sampang, Noer Tjahja sebagai salah satu penanggungjawab aktor utama di balik penyerangan warga Syiah Sampang.

4. Mengembalikan pengungsi ke kampung halaman dengan tetap memberikan rasa aman berupa kehadiran aparat keamanan di TKP dalam jangka waktu tertentu.

5. Menjalankan upaya resolusi konflik yang sistematis dan terukur.

Jakarta, 16 April 2013
Agus Setiawan
Yayasan LBH Universalia
Comment


Indonesia
Wahai sahabat Syiah Sampang, bersabarlah kalian, ingat ucapan Kel. Rosul, bila kalian berpihak kepada mereka, siap-siaplah kalian menuai cobaan yang luar biasa,pastikan anda sekalian sudah berada dalam Perahu Nuh, bukan masih bergelayutan dipinggir Perahu, karena ketika Perahu akan kembangkan layar dalam deburan ombak kehidupan yg keras, malah kalian terlepas dgn Tali (Allah) tsb.