0
Saturday 18 August 2018 - 17:03

Kebangkitan ISIS di Depan Hidung Amerika

Story Code : 745205
ISIS Berencana Dirikan Khilafah Jauh di Indonesia (Foto; nu.or.id)
ISIS Berencana Dirikan Khilafah Jauh di Indonesia (Foto; nu.or.id)
SEJAK pidato “Mission Accomplished” Presiden George W Bush terkait invasi di Irak pada 1 Mei 2003, banyak pihak memuji Amerika Serikat karena mampu mengakhiri perlawanan rezim Baath Saddam Hussein hanya dalam waktu satu bulan plus satu pekan. Tapi, sesudah pidato di atas geladak kapal induk USS Abraham Lincoln itu, semua tahu misi itu jauh dari selesai. Irak pun kemudian berkubang dalam perang panjang yang melahirkan sejumlah milisi sektarian dan kelompok teroris — yang residunya masih dirasakan warga negeri itu hingga kini.

Saat ini, ketika Presiden Donald Trump sebulan silam mengklaim ISIS — salah satu kelompok teror yang lahir dari perang Irak — telah “98 persen dikalahkan”, tak sedikit pihak yang mendiskon sesumbar orang nomor satu di Gedung Putih itu. Laporan tim pengawas Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis Selasa, 14 Agustus 2018, mengonfirmasi itu. Laporan menyebut ISIS justru memulihkan kondisi setelah menderita kekalahan besar akhir tahun lalu.

Ironinya, seperti tertulis dalam laporan, kebangkitan kembali geng teroris besutan Abu Bakar Al-Bagdadi itu terjadi di timur Suriah, wilayah yang dikendalikan pasukan koalisi pimpinan Amerika dan proksinya. “Ini akibat dari hilangnya momentum pasukan yang berperang di timur Suriah, yang memberi ISIS akses kepada sumber daya dan memberinya ruang bernapas untuk mempersipkan diri bagi tahapan evolusinya,” tulis laporan yang dibuat tim untuk Dewan Keamanan pada 27 Juli 2018.

Laporan juga mengidentifikasi ISIS masih menguasai segepok wilayah di timur Suriah, yang berbatasan dengan Irak. Wilayah ini hanya sepelemparan batu dari wilayah yang dikendalikan SDF, milisi Kurdi di bawah arahan Amerika. Di wilayah ini juga, menurut laporan, ISIS mengais fulus dari hasil penjualan minyak ke pasar gelap.

Laporan tim diperkuat oleh catatan Airwars, kelompok peneliti berbasis di Inggris yang melacak jejak setiap pertempuran melawan kelompok teroris di Suriah dan Irak. Airwars menunjukkan, dalam dua bulan terakhir, pasukan koalisi Amerika mengendurkan serangan terhadap ISIS di timur dan utara Suriah.

Menurut laporan The Washington Post, Amerika berdalih penghentian serangan di timur Suriah gara-gara manuver Turki menginvasi posisi pasukan Kurdi proksi Amerika di Afrin, barat laut Suriah. Akibatnya, pasukan Kurdi di timur Suriah dimobilisasi ke Afrin guna membendung gempuran Ankara.

Persoalannya, ini bukan kali pertama Amerika memberi angin kepada ISIS. Pada November 2015, di sela pertemuan puncak G20 di Turki, Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluhkan perdagangan gelap minyak sebagai sumber utama pendanaan ISIS.

Untuk membuktikan keluhannya, Putin memamerkan citra satelit dan foto udara yang menunjukkan barisan truk tangki tengah menanti memuat minyak di wilayah kekuasaan ISIS yang berbatasan dengan Turki. Meskipun tak menyebut nama secara definitif, Putin bilang, semua itu bisa terjadi karena keterlibatan sejumlah negara, yang di antaranya merupakan anggota G20.

Di bagian lain, laporan tim Dewan Keamanan mencemaskan geliat sel ISIS di selatan Suriah. “Kamp Rukban yang padat penduduk di selatan Suriah berisi sekitar 80.000 pengungsi, termasuk di antaranya keluarga petempur ISIS. Situasi ini dicemaskan negara-negara anggota bakal menghasilkan sel-sel baru untuk ISIS,” tulis laporan tersebut.

Letak Kamp Rubkan berbatasan dengan Yordania, sekitar 55 kilometer dari Al-Tanf, pangkalan militer Amerika di tenggara Suriah yang berbatasan dengan Irak. Beberapa waktu lalu, Amerika membombardir pasukan militer Suriah yang berupaya mendekati area tersebut.

Selain ISIS, laporan tim juga menaruh perhatian kepada kekuatan Hayat Tahrir Syam atau yang dulu dikenal dengan Jabhah Nusrah, kelompok teror yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Laporan menyatakan, Hayat kini diperkuat oleh kedatangan ahli bahan peledak dan strategis militer Al-Qaeda dari Afghanistan. Sejumlah eks petempur ISISI dari “Brigade Hijau” di barat laut Suriah juga disebut kini bergabung dengan Hayat, padahal dua kelompok teror ini sejak 2014 bak minyak dengan air.

“Pemerasan tetap menjadi sumber utama pendanaan Hayat, yang juga menghasilkan uang melalui penguasaan atas Idlib (wilayah di barat laut Suriah yang berbatasan dengan Hatay, Turki) dan pos-pos pemeriksaannya, termasuk dengan ‘memajaki’ arus komoditas komersial. Penculikan penduduk lokal untuk tebusan juga menjadi sumber pendapatan lain, selain sejumlah dana melalui sumbangan eksternal,” demikian tertulis dalam laporan tim.
Peta palagan Suriah (Merah = militer Suriah; Hijau = Al-Qaeda; Kuning = Kurdi, proksi AS; Abu-abu = ISIS; dan Biru = pasukan koalisi AS)

Laporan dari sejumlah media menyebut, militer Suriah dan sekutunya kini terus mematangkan rencana untuk menggelar operasi pamungkas atas Idlib, tempat pembuangan akhir kelompok ekstremis pro-Al-Qaeda dari seantero wilayah Suriah, termasuk Aleppo timur. Meskipun Nusrah dan Hayat telah dimasukkan ke dalam “daftar hitam” organisasi teror versi Dewan Keamanan, pasukan koalisi Amerika serta Turki kerap memanfaatkan kelompok ini untuk kepentingan mereka masing-masing, di antaranya untuk menghambat laju militer Suriah dan sekutu untuk membebaskan wilayah-wilayah di barat laut Suriah.

Secara umum, laporan tim Dewan Keamanan juga memperkirakan ISIS masih memiliki sekitar 30.000 serdadu di Suriah dan Irak. Angka ini jauh lebih besar daripada estimasi pasukan koalisi Amerika yang menyebut ISIS tinggal memiliki 1.000 petempur. Berbicara dari Baghdad kepada The Post, Felix Gedney, jenderal asal Inggris yang menjadi wakil komandan pasukan koalisi melawan ISIS, mengatakan estimasi Dewan Keamanan terlihat “terlalu tinggi”.[]

Sumber: https://www.indopress.id/article/internasional/kebangkitan-isis-di-depan-hidung-amerika
Comment