0
Tuesday 23 November 2010 - 15:07

Wawancara: Sumiati dan ‘Sumber Api’ Nestapa Buruh Migran

Story Code : 44924
TKI Sayang dan TKI Malang
TKI Sayang dan TKI Malang

Dina Nuriyati, 32 tahun, adalah aktivis buruh migran di Jakarta. Dia tercatat sebagai pendiri Serikat Buruh Migrant Indonesia, sebuah organisasi yang aktif memperjuangkan hak-hak buruh migran di berbagai negara penempatan seperti Malaysia, Hong Kong, Saudi Arabia, Jepang dan Korea.

Belum lama ini, Dina menyelesaikan gelar master Kebijakan Perburuhan dan Globalisasi di Universitas Kassel, Jerman. Kini, dia kembali ke Jakarta dan aktif sebagai dewan pertimbangan di organisasi buruh migrant yang ikut dia dirikan. Pekan lalu, Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times mewawancarainya sekaitan kembali riuhnya pemberitaan nestapa tenaga kerja Indonesia di Timur Tengah. Berikut petikannya:

Sumiati, buruh yang disiksa di Arab Saudi, kini jadi perhatian nasional. Apa yang Anda dan organisasi Anda dengar tentang dia dan apa pesan dari kejadian ini?

Suamiati sebenarnya bukan kasus penganiayaan pertama yang menimpa buruh migran kita di luar negeri . Kasus-kasus serupa sebelumnya tentu masih belum lekang di ingatan kita, misalnya kasus Siti Hajar dan juga Nirmala Bonat, buruh migran kita yang bekerja di Malaysia ini sekujur tubuhnya rusak penuh luka pukulan dan bahkan bekas disetrika oleh majikannya. Termasuk juga Keni yang menghadapi kasus serupa di Saudi Arabia dan masih sederatan nama-nama lain. Mungkin tidak hanya kasus penganiayaan, tapi pemerkosaan, gaji kerja bertahun-tahun yang tidak dibayar, PHK sepihak, terjebak prostitusi, dan masih banyak lagi. Semua kasus itu sebenarnya telah dipublikasikan di media cetak dan elektronik. Dan pemerintah pun akhirnya tergopoh-gopoh untuk berusaha menyelesaikannya.

Saya kira kejadian Sumiati ini seharusnya membangkitkan kesadaran publik kalau mekanisme perlindungan pada buruh migran harus segera dibenahi. Dari kasus-kasus penganiayaan yang terus terjadi berulang-ulang mestinya menjadi perhatian pemerintah untuk mencari akar persoalannya. Tidak hanya menjadi pemadam kebakaran saja, tetapi mencari sumber dari mana api itu berasal.

Cerita-cerita penganiayaan buruh migran ini tidak hanya mencederai korban secara langsung tapi juga cermin bahwa harga diri bangsa ini telah diinjak-injak dan tidak dihormati negara lain. Persoalan kedaulatan negara semestinya tak sakadar dipandang hanya dengan masalah teritorial yang itu pun sudah diinjak injak oleh negara lain. Tapi juga bagaimana warga negara Indonesia diperlakukan di luar negeri sana, apalagi mereka juga telah berkontribusi pada negara maupun pembangun di negara tujuan mereka bekerja.

Pejabat negara, bahkan presiden, kini angkat suara dan di media riuh pembicaraan seputar para pahlawan devisa. Apa yang menurut Anda masih kurang dibicarakan sekaitan kasus-kasus penyiksaan buruh di luar negeri selama ini? 

Kita tidak seharusnya lagi berbicara kasus per kasus. Tapi mencari akar permasalahan ini terjadi dan bagaimana juga pemerintah menanggulanginya. Misalnya kondisi yang menyebabkan kenapa masayarakat nekat bekerja keluar negeri dengan segala konsekwensi yang dihadapinya, dan kenapa penanganan kasus-kasus buruh migran sedemikian carut marut. Tanpa hal ini dibicarakan dan dicari solusinya, maka di bulan atau tahun berikutnya kasus-kasus seperti ini akan terus bergulir .

Persoalan buruh di luar negeri tentunya kompleks. Tapi jika tak keberatan, bisakah Anda menceritakan sumbangan besar para buruh ini dan persoalan-persoalan pelik yang membelit mereka -- suatu yang seharusnya diketahui publik?

Setiap tahunnya, buruh migran menyumbangkan devisa negara triliunan rupiah dan angkanya terus meningkat seiring angka buruh migran keluar negeri. Remitansi periode 2006-2009 berturut-turut: USD5,56 miliar, USD6 miliar, USD8,24 miliar, dan USD8,2 miliar. Untuk tahun 2010, negara via Kementrian Tenaga Kerja, menargetkan remitansi US$ 10 miliar, atau naik 20%.

Hal yang harus menjadi catatan bahwa besarnya nilai remitansi ini menjadikan pemerintah kian berupaya meningkatkan jumlah buruh migran. Padahal ekses dari penempatan ini harus dibayar mahal dengan memisahkan para buruh migran dengan keluarganya, tumbuh kembang anak-anak generasi penerus bangsa yang terganggu karena terpisah dengan ibu atau bapaknya yang menjadi buruh migran, angka percerian pada pasangan buruh migran yang tinggi, termasuk masalah “ brain drain”, dimana Indonesia kekurangan tenaga kerja jenis tertentu karena pekerjanya memilih bekerja di luar negeri. Sekarang ini pemerintah gencar-gencarnya mempromosikan penempatan perawat ke luar negeri menjadi tenaga medis di luar negeri dari tingkatan perawat anak, lansia sampai perawat-perawat professional di rumah-rumah sakit di Jepang, di Korea, Timur tengah. Padahal di dalam negeri angka kematian ibu dan anak masih tinggi karena kekurangan tenaga medis.

Ironis dari semua ini adalah setoran devisi buruh migran tidak berbanding lurus dengan mekanisme perlindungan pemerintah pada nasib mereka. Kementerian Luar Negeri sendiri menyatakan bahwa jumlah buruh migran Indonesia yang meninggal di luar negeri sepanjang 2009 mencapai 1.107 jiwa atau naik hampir 125%, dibandingkan angka kematian buruh migran tahun sebelumnya 494 jiwa. Sedangkan untuk kasus penganiayaan, pada tahun 2009 sebanyak 4.822 buruh migran Indonesia mengalami penganiayaan. Jumlahnyapun meningkat tajam jika dibandingkan tahun sebelumnya, 3.470. dan sakit akibat kerja 10.153.

Data kematian TKI di Malaysia yang dikeluarkan KBRI di Kuala Lumpur menunjukkan, dari 513 TKI yang mati di Malaysia pada tahun 2008, mayoritas (87,1%) adalah TKI berdokumen atau TKI legal. Ini berarti, bekerja melalui jalur resmi sebagaimana dimandatkan UU 39/2004 sama sekali tidak menjamin keselamatan TKI. Jalur resmi migrasi TKI ke luar negeri nyatanya sarat dengan eksploitasi.

Selama tahun 2009, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur mencatat sebanyak 18.641 tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jawa Timur menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking) karena lemahnya pengawasan pemerintah di daerah.

Namun sangat disayangkan ketika dalam setiap kejadian , seringkali pemerintah justru “blame the victim”, menyalahkan korban yang sudah menjadi korban. Misalnya dengan mengatakan bahwa banyak buruh migran itu “unskill atau tidak terdidik” , tidak punya keahlian, pengetahuan bahasa tidak memadai, ikut terlibat memalsukan identitas pribadinya, lebih memilih jalur tidak resmi, dan lain sebagainya.

Mestinya pemerintah tahu diri untuk mencari akar permasalah kenapa masyarakat ‘nekat’ bekerja ke luar negeri. Memang adalah hak setiap warga untuk bekerja, berpindah tempat untuk mencari penghidupan yang layak. Tapi pemerintah harus mampu menganlisa apakah bekerja keluar negeri adalah pilihan semata atau keterpaksaan karena tidak ada kesejahteraan di dalam negeri.

Kabarnya saat meneliti kehidupan buruh migran ini, Anda sempat merasakan langsung "perlakuan kasar" atas mereka. Bisa Anda ceritakan soal ini?

Sebagai seorang aktivis dan peneliti yang lama berkecimpung dengan isu buruh migran, memang banyak hal yang kami temui di lapangan, dari cerita-cerita para korban saat mendata kasus mereka, termasuk mendampingi korban penganiayaan dan juga perkosaan yang kalau diceritakan pasti akan menghabiskan waktu lama. Misalnya korban yang kita dampingi dengan sekujur tubuh yang penuh luka melepuh, bengkak berganti warna maupun bentuk akibat penganiayaan. Buruh migran yang pulang dengan gangguan mental ataupun trauma akibat beban kerja dan juga perlakuan-perlakuan yang buruk dari majikan.

Termasuk juga menyaksikan perlakuan-perlakuan kasar dan pelayanan yang tidak bersahabat terhadap para “pahlawan devisa” kita di titik-titik kepulangan seperti bandara dan juga pelabuhan dan juga rumah sakit. Misal bagaimana perlakuan petugas-petugas di bandara membentak-bentak buruh migran yang pulang atau memaksa mereka untuk digiring ke terminal khusus TKI . Termasuk juga pemerasan di jalur transportasi buruh migran. Belum lagi kasus-kasus lain misalnya jenazah buruh migran yang terkatung-katung di luar negeri sementara PJTKI maupun pemerintah saling lempar tanggung jawab dalam menanganinya atau mengupayakan pemulangannya. Termasuk pengaduan-pengaduan keluarga yang didenda jutaan rupiah untuk menebus anaknya yang ter PHK . [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/K-014]
Comment