0
Tuesday 4 September 2018 - 20:23

Laporan Investigasi Detik: Hidup di Jakarta Dikepung Tinja

Story Code : 748059
Hidup di Jakarta Dikepung Tinja (Detik.com)
Hidup di Jakarta Dikepung Tinja (Detik.com)
Minggu, 26 Agustus 2018. Berjalan menyusuri lorong-lorong kampung di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, seolah tersesat di dalam sebuah labirin raksasa. Semakin dalam lorong-lorong sempit itu ditelusuri, makin pusing kepala menentukan arah mata angin. Apalagi bau 'semriwing' kadang menyergap indra penciuman.

Sepuluh tahun lalu, ketika Ria pertama kali pindah ke Kelurahan Duri Utara di Tambora, ia kaget bukan main. Ria berjalan menuju ke rumahnya melewati lorong demi lorong, lebarnya paling hanya satu setengah meter. Makin jauh berjalan, lorong itu makin sempit. Banyak gang bercabang yang ujung dan pangkalnya bagai benang kusut.

Kondisi ini sangat kontras dengan kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah. Dulu di kampung, begitu pintu rumah di buka, sepanjang mata memandang Ria dapat melihat hamparan sawah menguning menjelang musim panen. Demi ikut suami, dia terpaksa meninggalkan kampung halaman dan pergi ke Jakarta.

“Waktu itu saya masih pengantin baru, diboyong suami. Karena dia kerja di perusahaan konveksi di sini, jadi cari kontrakan yang dekat,” kata Ria, kini ibu rumah tangga dengan dua anak. Ia pun terpaksa tinggal di rumah kontrakan dua lantai berukuran 2 x 3 meter. Harga sewanya Rp 6 juta per tahun.

Dengan gaji suami, ditambah uang hasil kerjanya sebagai tenaga pengajar kursus anak-anak SD, keluarga kecil Ria bertahan hidup di ibu kota. Tapi kondisi lingkungan di RW 02 tempat Ria tinggal membuatnya sengsara. Setiap hari Ria harus mencium bau tak sedap yang berasal dari selokan penuh tinja dan sampah di sekitar rumah. Kebetulan selokan itu letaknya hanya 2 meter dari rumah kontrakannya. Sampai-sampai Ria melarang dua anaknya bermain di depan rumah.

Tak hanya itu, kualitas air tanah dari keran membuat Ria makin meringis. Sebetulnya ia tak ingin menggunakan air keruh berwarna kecoklatan itu. Tapi hanya air itu seperti itu yang keluar dari sumur. Ria hanya menggunakan air tanah untuk keperluan mandi, mencuci piring dan baju. Untuk memasak dan minum, ia terpaksa membeli air pikulan.

“Kotoran warga semua numpuk di kali karena dari toilet memang buangnya langsung ke sana. Dari awal memang nggak ada septic tank. Di selokan itu kalau lagi penuh-penuhnya sampai ada banyak belatung,” Ria menuturkan dengan muka jijik.

Warga RW 02 tempat Ria tinggal memang kompak membuang hajat di selokan. Bisa dibilang hampir tidak ada yang memiliki tangki penampungan tinja. Meski dampak pencemaran akibat pembuangan tinja serampangan itu telah terasa, warga merasa ‘sebodo amat’. Alasannya sebetulnya masuk di akal. Membangun tangki septik di salah satu perkampungan terpadat se-Asia Tenggara ini memang sulit bukan main. Jarak antar rumah nyaris tak ada. Demikian pula lahan kosong. Padahal idealnya, jarak tangki septik dengan sumur sumber air tanah tak kurang dari 10 meter.

Di Duri Utara, warga asli Tambora dan para pendatang seperti Ria, hidup berjejal. Satu rumah mungil kadang bisa dihuni hingga tujuh keluarga sekaligus. Beberapa rumah kontrakan beralaskan triplek juga lebih mirip kandang ketimbang hunian. Biaya sewa memang sangat murah, Rp 200 ribu per bulan. Tapi pengontrak tidak punya ruangan lain selain untuk merebahkan badan. Sedangkan untuk urusan mandi dan buang hajat, mereka menggunakan toilet umum berbayar. Toilet umum ini juga langsung terhubung dengan selokan.

Saking kepingin gratis, ada pula warga yang menghalalkan segala cara untuk membuang tinja. “Mohon maaf nih ya, habis BAB (Buang Air Besar) dimasukin ke dalam plastik, udah dibuang begitu aja di pinggir jalan atau di kali,” ujar Denny Aputra, Lurah Duri Utara.

Hidup bertahun-tahun dikepung tinja, hanya tinggal waktu saja, penghuninya bakal kena dampaknya. Setelah melahirkan anak pertama, Ria ketiban sial. Ia mengalami radang kulit akibat terpapar air yang tercemar Escherichia coli, salah satu bakteri yang terdapat pada tinja manusia.

Ketika kandungan di perutnya memasuki usia delapan bulan, rumah kontrakannya beberapa hari direndam banjir. Air di kali meluap sehingga membawa banyak sekali kotoran masuk ke dalam rumah. Karena tak bisa diam, ia membantu suaminya membersihkan rumah.

Dokter di Puskemas mengatakan, Ria terkena infeksi radang kulit akibat terpapar kotoran manusia. Akibatnya, sekujur tubuh Ria bengkak dan timbul bisul-bisul kecil. Selama 40 hari ia seperti orang lumpuh. Tak hanya Ria, anaknya yang baru lahir, Caca, juga sering sakit-sakitan. Selama sebulan Caca bisa tiga kali bolak balik klinik karena diare dan muntaber. Penyakitnya ini berulangkali kumat hingga Caca duduk di bangku kelas 4 SD.

Data dari Puskesmas Kecamatan Tambora tahun 2015 menunjukkan, setiap bulan terjadi sekitar 50 kasus diare di Kelurahan Duri Utara. Kasus diare tertinggi menimpa warga RW 02. Pakar Gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Diana Sunardi, menjelaskan, infeksi akibat mikroba E. coli dapat terjadi ketika orang mengkonsumsi makanan atau air yang tidak disterilkan. Penyakit ini sebetulnya mudah diobati dan dapat dicegah dengan kebiasaan hidup bersih.

“Diare biasanya bisa pulih dalam waktu seminggu, tapi kalau sistem kekebalan tubuh sedang menurun, bisa berakibat kematian. Makanya dianjurkan cuci tangan sebelum makan. Dan jika terpaksa mengkonsumsi air tanah atau sumur, satu-satunya cara menghilangkan bakteri adalah dengan dimasak sampai mendidih,” dia menjelaskan.

Untung lah ada Yayasan Plan International Indonesia. Bekerja sama dengan Kelurahan Duri Utara dan warga, juga sejumlah lembaga sosial seperti Yayasan Tanggul Bencana Indonesia (YTBI), Yayasan Pembangunan Citra Insan Indonesia (YPCII), SPEAK Indonesia dan WinDevelopment, organisasi kemanusiaan internasional itu mencari solusi untuk mengolah air limbah domestik di permukiman padat itu.

Dari acara rembuk bersama disimpulkan, urusan pengelolaan tinja di pemukiman padat tidak bisa dituntaskan hanya dengan mengandalkan tangki septik individual, tapi mesti menggunakan teknologi sanitasi berbasis komunal. Maka jadi lah proyek BERSIH (Bersama Perbaiki Sanitasi dan Higiene Kota) di Kelurahan Duri Utara. Hasilnya adalah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Biofilter Komunal. Berada di tengah pemukiman warga, IPAL Biofilter Komunal dihubungkan dengan jaringan perpipaan dari rumah ke rumah sehingga air limbah domestik bisa dikelola bersama.

IPAL Biofilter Komunal terdiri dari lima sampai enam bak penampungan dan ditanam di dalam tanah. Masing-masing bak memiliki tugas berbeda, diantaranya menampung, memadatkan, dan membusukkan tinja. Sisa air hasil olahan tinja yang telah memenuhi standar baku mutu bisa dibuang kembali ke sungai. Sementara lumpur tinja diangkut secara berkala oleh truk tinja milik PD PAL Jaya. IPAL Biofilter mulai digarap pada Oktober 2016 dan tuntas pada Juli 2017.

Bagi rumah warga yang tidak kebagian jaringan perpipaan IPAL Biofilter Komunal, mereka juga dipasangkan beberapa jenis tangki septik yakni satu unit tangki pinastik, satu unit tangki tripikon dan empat unit tangki silinder. “Duri Utara merupakan salah satu wilayah kumuh dan memiliki kriteria perilaku sanitasi buruk. Kami menerapkan teknologi tepat guna sehingga ke depan warga dapat dengan mudah mengelolanya,” ujar Herie Ferdian, WASH Project Manager, Plan International Indonesia.

Total sebanyak 1323 warga menerima manfaat dari proyek ini. Namun masalah tinja di Duri Utara tak seketika beres hanya dengan membangun IPAL Biofilter Komunal. Untuk memastikan infrastruktur ini dikelola dengan baik, dibentuk Sanitasi Total Berbasiss Masyarakat (STBM) Kelurahan. “Program ini tidak 100 persen bantuan tapi dibutuhkan partisipasi masyarakat. Tim STBM dibentuk tokoh masyarakat dan warga yang secara alami memiliki kepedulian terhadap lingkungan,” Herie menuturkan.

Agus Susanto, salah satu dari total 22 anggota STBM. Meski bukan warga RW 02 yang merasakan langsung manfaat IPAL Biofilter Komunal, Agus merasa terpanggil menjadi relawan. Awalnya Agus tidak habis pikir bagaimana warga RW 02 bisa bertahan hidup diantara kepungan tinja. Sedangkan dirinya saja tak akan sanggup melewati gang di sana tanpa menahan nafas. Agus bergabung untuk mensosialisasikan manfaat dan rencana pembangunan IPAL Biofilter Komunal kepada warga.

Bukannya sambutan hangat yang ia terima, warga justru merasa terganggu dengan kehadirannya. “Lucunya, program ini buat mereka malah jadi masalah. Program ini bukan mereka yang mau. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa, ‘Nih ada program yang bisa bikin lu berubah,’” kata Agus. Agar program ini bisa terus menggelinding, warga memang harus membayar. “Mereka mikirnya malah nanti bikin ribet, mana harus bayar iuran lagi.”

Setiap bulan tim STBM menagih iuran sebesar Rp 20 ribu per rumah. Uang itu digunakan untuk biaya perawatan IPAL Biofilter Komunal sekaligus penyedotan sisa limbah tinja. Berapa pun jumlah anggota penghuni rumah, semuanya dikenakan iuran yang sama. Tapi selama program ini berjalan ada saja warga yang berutang bahkan hingga berbulan-bulan. Terkadang tim STBM terpaksa menambal sulam utang sampai dilunasi warga.

Biasanya Lurah Duri Utara, Denny Aputra, turun tangan menangani warga membandel. Jika tidak patuh, Denny memberikan sanksi tegas berupa penutupan pipa air limbah. Tanpa saluran tersebut otomatis toilet akan mampet. Sanksi ini juga berlaku bagi rumah di RW lain yang kedapatan belum mempunyai tangki septik. Tak hanya masalah utang. Tim STBM juga harus menghadapi berbagai macam karateristik warga.

Tuti Suryati, salah seorang tim STBM yang sehari-hari berprofesi seorang guru TK pernah mendapat ancaman. Warga nekat meneror Tuti lantaran pipa yang terhubung dengan IPAL Biofilter Komunal saban hari mampet. “Dia malah marah-marah ke saya, 'Ini gimana sih malah mampet entar gua bacok-bacokin lu',” ujar Tuti dalam logat Betawi yang kental menirukan reaksi seorang warga.

Mendapat perlakuan tidak menyenangkan, terkadang ingin rasanya Tuti masa bodo dengan proyek BERSIH itu. Namun melihat manfaat dan perubahan lingkungan yang dirasakan warga justru membuatnya semakin terpacu untuk menyuarakan pentingnya sanitasi. “Kadang kalau dipikir, iya ya elu mah enak tinggal pada modol, kita yang urusin. Tapi mau gimana lagi, ini penting supaya ke depannya terus berjalan selama mungkin, selama orang masih pada berak.”

Setahun setelah proyek BERSIH berjalan, kondisi gang di Kelurahan Duri Utara memang tak banyak berubah. Tapi setidaknya dua sudut lorong di RW 02 suasanannya tak sesuram dulu. Dari balik gang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita paruh baya mendendangkan lagu 'Terlena'. Lagu yang dipopulerkan pedangdut Ikke Nurjanah di akhir tahun 90-an. “Aku terharu dan terbuai, aku terlena.. terlena.. ku terlena,” bibir Suharti lincah bergerak mengikuti irama dari radio hitam kesayangannya.

Ketika dihampiri, wanita asal Sumedang, Jawa Barat ini sedang bersantai sambil menunggu cucunya pulang sekolah. Ia duduk persis di atas IPAL Biofilter Komunal. Lokasi dimana IPAL Biofilter Komunal tertanam kini bertambah fungsi menjadi ruang terbuka dadakan. Tembok dan lantai di sekelilingnya pun diberi cat warna warni.

“Sekarang enak udah bisa nafas lega. Bahkan siang-siang emak-emak di sini pada ngumpul makan. Padahal dulu sebelahnya persis selokan yang isinya tinja. Sekarang bahkan airnya udah ngalir lancar,” kata Suharti sumringah.

Semenjak pemasangan IPAL Biofilter Komunal bukan cuma kondisi lingkungan yang berubah. Kelurahan Duri Utara khususnya di RW 02 juga mengalami perbaikan kesehatan. Data Puskesmas Kecamatan Tambora menunjukan dari tahun 2017 ke 2018 terdapat penurunan kasus diare sebesar 57,65%. Namun peningkatan yang cukup signifikan seharusnya tidak lantas membuat warga berpuas diri.

“Walaupun dari berbagai macam aspek sudah banyak perubahan. Tapi air selokan masih belum bebas dari pencemaran. Faktornya karena antara satu selokan dengan selokan lain saling terhubung. Artinya kalau mau menyelesaikan masalah ini harus menyeluruh. Nggak bisa di satu RW atau satu kelurahan saja, tapi semua harus diperbaiki,” kata Herie Ferdian dari Plan International Indonesia. [IT]

Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo

Sumber detik: https://x.detik.com/detail/intermeso/20180826/Hidup-di-Jakarta-Dikepung-Tinja/index.php
Comment