0
Tuesday 10 April 2012 - 14:14
Rasis di Amerika Serikat

“White Only” di Amerika Serikat

Story Code : 152053
“White Only” di Amerika Serikat

Sebuah tulisan besar terpampang di sebuah binatu di Amerika Serikat di tahun 1960-an. Tulisannya mencolok, “White Only”. Sekilas, tak ada yang aneh dengan tulisan itu.

Apa sebenarnya makna tulisan itu? Hanya menerima baju putih? Salah besar. Memang terkesan demikian karena tulisan itu terpampang di tempat laundry. Arti sebenarnya adalah tempat itu hanya untuk orang kulit putih. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, “kulit hitam dilarang masuk!”.

Itulah gambaran ketika rasisme atau perbedaan warna kulit menjadi persoalan besar di AS. Betapa ketika itu, warga Afrika-Amerika masih terpinggirkan dan eksistensinya selalu dibeda-bedakan.

Kini lebih dari 40 tahun kemudian, persoalan itu kembali mencuat. Namun, bukan sekadar pemisahan hak antara si kulit putih dan si kulit hitam. Namun, kini berubah wujud menjadi kebencian sebagian warga kulit putih terhadap nonkulit putih. Penganiayaan bahkan hingga pembunuhan dilakukan terhadap mereka yang bukan orang 'Amerika Asli'.

Sabtu (7/4/2012) dini hari, dua laki-laki menembak lima warga kulit hitam. Dannaer Fields, 49, Bobby Clarke, 54, William Allen 31 tewas dan dua Afrika-Amerika lainnya luka-luka akibat penembakan itu.

Penembakan dipercaya dilatarbelakangi masalah warna kulit. Hal itu terungkap karena sehari sebelumnya, salah seorang penembak itu menulis ancaman berbau rasis di laman Facebook-nya. Seorang temanya bahkan sempat memperingatkan dia untuk tidak melakukan hal bodoh.

Masalah warna kulit dan budaya di AS seolah baik-baik saja. Di tingkat formal, AS seolah seperti negara multikultur yang tidak membeda-bedakan warna kulit ataupun latar belakang budaya dan bangsa. Warga AS sepertinya sangat manis terhadap siapa saja, sesuai semboyan negaranya, "E Pluribus Unum", yang berarti dari banyak menjadi satu, semacam Bhineka Tunggal Ika yang diadopsi Indonesia. Namun, di hati banyak orang Amerika, masih tertanam kebencian terhadap warga nonkulit putih.

Penembakan seperti itu bukan sekali dua kali terjadi. Sebaliknya, menambah panjang daftar warga Afrika-Amerika yang menjadi korban. Bahkan belum lama ini, kasus penembakan didasari rasialisme dilakukan oleh seorang petugas kepolisian. Korbannya, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, Kendrec McDade, ditembak mati oleh dua polisi Pasadena, 24 Maret 2012.

Inikah gambaran kegagalan AS dalam menerapkan undang-undang sipil yang dicanangkan oleh bapak bangsa negeri itu? Bisa jadi, sebab 40 tahun sejak diterapkannya undang-undang hak sipil pada 1964 dan undang-undang hak memilih pada 1965, publik masih menyaksikan dengan jelas serangan politis terhadap kalangan berkulit berwarna.

Bahkan serangan terhadap mereka yang bukan kulit putih terjadi dengan latar belakang politik. Publik AS, bahkan dunia, masih mengingat pembunuhan Shaima alawadi, seorang perempuan asal Detroit yang pindah ke Santiago, California. Dia adalah warga negara AS keturunan Irak yang dianiaya hingga tewas.

Sebuah catatan kecil ditinggalkan di dekat jenazahnya, yang menyebutkan bahwa dia harus meninggalkan AS dan kembali ke Timur Tengah. “Pulang ke negaramu, ini bukan negeri kalian para teroris.”

Shaima Alawadi adalah ibu dari lima anak yang berusia tujuh hingga 17 tahun, yang tinggal di sebuah kawasan yang mayoritasnya adalah imigran asal Irak di selatan kota Santiago. Tercatat 40.000 imigran dari Irak hidup di Santiago dan menjadi kawasan kedua setelah Detroit yang menampung imigran Irak terbanyak di AS.

Jelas, ada unsur politik di belakang pembunuhan ini, bukan sekadar perbedaan budaya dan warna kulit. Rasisme di AS kini bukannya hilang, malah justru semakin mendalam dan sistematis. Kondisi seperti itu tidak bisa diubah begitu saja, termasuk oleh pemerintahan di bawah Obama.

Barack Obama yang pernah dianggap sebagai simbol matinya rasisme saja tidak bisa berbuat banyak. Bahkan Morgan Freeman, aktor Afrika-Amerika terkenal menyebut sebaliknya, Obama membuat rasisme semakin subur.

Salah satu faktor yang menghambatnya adalah tingginya angka pengangguran dan banyaknya besarnya kemiskinan di kalangan Afrika-Amerika. Kendatipun masalah ini bisa diatasi pemerintahan Obama, rasialisme di AS tidak akan sirna begitu saja. Sebab, itu semua hanya pemicu, sedangkan akarnya masih tumbuh subur. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/on]

Sumber: Inilah.com
Comment