0
1
Komentar
Saturday 26 June 2010 - 17:03

Kemiskinan dan Kapitalisme di Indonesia

Story Code : 29242
Kemiskinan dan Kapitalisme.jpg
Kemiskinan dan Kapitalisme.jpg





Sejauh ini, berdasarkan pengamatan atas survey atau penelitian yang Anda lakukan, bagaimana sebetulnya persoalan kemiskinan di negeri ini, meningkat ataukah menurun, dan apa sebab-sebabnya? 

Kalau dilihat dari hasil publikasi tentang persoalan ini, pemerintah menyatakan bahwa angka kemiskinan di tanah air sedikit mengalami penurunan. Namun, kalau kita lihat dari kualitas kemiskinannya, maka banyak sekali persentase-persentase yang berada di sekitar garis kemiskinan dan sangat rentan, yang apabila sedikit saja terjadi gejolak, maka mereka akan segera berada di bawah garis kemiskinan. Artinya posisi mereka memang belumlah aman. 

Kalau berbicara tentang penyebabnya, maka upaya yang selama ini dilakukan banyak yang tidak menyentuh penyebab kemiskinan itu. Pernyataan yang dipublikasikan hanyalah menyangkut angka-angka belaka. Kalau dilihat dari akar permasalahannya, maka kita akan melihat bahwa akses masyarakat terhadap kegiatan ekonomi selama ini memang sangat terbatas. Sementara, pada masa lalu, ketika masyarakat memiliki akses yang besar terhadap kegiatan pertanian, mereka sangat aman dalam kehidupannya. Kalau kita perhatikan, sekarang ini, kegiatan ekonomi yang melibatkan masyarakat banyak memang kurang memperoleh perhatian. Padahal, kalau kita perhatikan, sektor formal itu hanyalah 27 (dua puluh tujuh) persen, namun mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah yang sangat besar. Undang-undang dan jaminan-keselamatan kerja serta kesehatan-kerja dan lain-lain itu hanya berhubungan dengan sektor formal saja. Sementara, selebihnya itu kurang disentuh, baik menyangkut masalah perlindungan dan lain-lain, padahal itu menyangkut sebagian besar kegiatan ekonomi masyarakat. 

Jadi kalau ditilik dari akar kemiskinannya, sebetulnya penyebabnya adalah faktor sosial, struktural, atau kebijakan, atau bahkan mungkin ada upaya pemiskinan menurut Anda? 

Hampir semua itu ada… Kalau bicara soal kebijakan, maka seperti tadi, tidak ada upaya untuk melindungi yang 73 (tujuh puluh tiga) persen sektor informal itu. Kalau secara struktural, maka masyarakat yang secara tradisional masuk ke dalam struktur masyarakat miskin itu sangat sulit untuk keluar dari kungkungan tersebut. Jadi kemiskinan turun-temurun. Begitu juga yang berada di struktur menengah; ini sangat sensitif dengan kondisi-kondisi perekonomian. Dan, ada pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan orang-orang yang berada di kelas menengah ini. Kalau kita lihat, ini merupakan sebentuk pemiskinan untuk memanfaatkan Indonesia, dan kalau dikaitkan dengan ekonomi global, maka tentu kelas menengah akan menjadi korban, benar-benar menjadi konsumen belaka. 

Kalau dihubungkan dengan isu neolib yang ada di Indonesia, apakah kebijakan pemerintah selama ini memang lebih mengedepankan tumbuhnya sistem perekonomian demikian di negeri kita? 

Kalau kita lihat target pemerintah, pertumbuhan ditargetkan 6 persen misalnya, ini berarti hanya betul-betul mengejar pertumbuhan. Jadi, tinggal mengundang investor asing dan selesai; tinggal mendampinginya dengan sektor keamanan bagi investor itu. Akan tetapi, kalau kita lihat, apakah dampak dari pertumbuhan ekonomi memang betul mengatasi kemiskinan masyarakat? Tentu saja tidak. Justru target-target itu hanya untuk orang-orang luar dan orang-orang yang punya banyak modal. Lagi-lagi, sebagain besar masyarakat ini tidak dapat menikmati apa yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi tersebut. Inilah yang menjadi kendala di negeri kita.


Konon, memang tidak dapat dipadukan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Artinya, kalau kita mengedepankan pertumbuhan ekonomi, maka pemerataan yang menjadi korban, dan begitu pula sebaliknya… 

Dalam banyak keadaan, dua kutub ini memang tampak berseberangan. Kalau kita mengedepankan pertumbuhan, maka memang akan mengorbankan pemerataan. Namun pemerintah sebetulnya bisa menjadi pemain besar dan tidak hanya menjadi “cukong” atau perantara saja bagi kepentingan kekuatan global. 

Sayangnya, apa yang diinginkan investor-investor besar itu saja yang banyak diikuti, meski dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Misalnya saja, lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi pabrik justru bertumbuh di sentra-sentra pertanian, seperti di Karawang misalnya. Dan ini mengorbankan “lumbung” padi yang menjadi kebanggaan Jawa Barat dan Indonesia secara umum. Tentu masyarakat yang berpendidikan rendah mustahil memiliki akses ke perekonomian yang didominasi pabrik, paling-paling di sektor yang pinggiran saja. 

Sebetulnya, seberapa besar bahaya kapitalisme terhadap perekonomian masyarakat dan eksploitasi ekonomi oleh kekuatan-kekuatan asing? 

Pertama, kalau kita lihat, potensi masyarakat yang sebelumnya di sektor pertanian akan bergeser ke sektor jasa, yang memiliki ciri kualitas sumber daya manusia yang bagus; dan manufaktur dan jasa masuk dalam sektor ini. Apabila mau, maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah meningkatkan kualitas SDM. Tetapi, kalau gagal meningkatkan kualitas SDM dan kemudian mengalihkan perekonomian masyarakat ke sektor manufaktur dan jasa, itu sama artinya menggiring masyarakat ke dalam jurang kemiskinan yang sangat dalam. Mereka tentu tidak akan mampu bersaing dengan investor asing itu. Sementara, sebelumnya mereka sangat piawai dalam sektoir pertanian. Meski tingkat pendidikan mereka rendah, tetapi feeling masyarakat untuk bercocok-tanam itu merupakan sebuah keunggulan. 

Begitu juga dengan para nelayan, yang sekarang ini menjadi banyak berada di jurang keminskinan. Mengapa? Karena lahan mereka sekarang banyak dirambah oleh pemodal-pemodal besar. Begitulah, masyarakat sebetulnya secara tak sadar sedang digiiring ke jurang kemiskinan. Dan, pemerintah seolah-olah tak berkutik selain melayani para kapitalis itu. 

Kalau melihat kondisi seperti ini, masihkah ada harapan, bagaimana masyarakat dapat mencapai kemandirian secara ekonomi? 

Satu hal yang positif bagi pemerintah sekarang ini adalah ditingkatkannya biaya pendidikan dan kesehatan. Kalau kita lihat dari strukturnya saja, bukan dari kualitas, maka kita masih dapat berharap. Peningkatan anggaran untuk ini merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan dengan baik. Akan tetapi, lagi-lagi pelaksanaannya harus kita kontrol. 

Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memanfaatkan ini secara optimal. Angka 20 (dua puluh) persen untuk pendidikan itu harus benar-benar menyentuh masyarakat luas. Bisa diharapkan, dengan peningkatan SDM, maka peran masyarakat akan semakin besar di sektor perekonomian. Harapan hanya ini. 

Kalau dilihat dari sisi praktis ekonomi sekarang ini kita sudah ketinggalan. Tak lama lagi kita akan kebanjiran investor dari luar yang lebih kuat. Kita akan sangat kewalahan. Kalau kita bandingkan dengan Malaysia, misalnya, mereka lebih awal dalam hal ini dibandingkan dengan kita, sehingga SDM di sana itu lebih baik dibandingkan dengan kita sekarang ini. Ya, harapan kita hanya pada peningkatan SDM.[jv]

Comment


Indonesia
aku pikir jawaban untuk menghilangkan jurang kemiskinan ataupun proses pemiskinan itu adalah dengan tindakan yang revolusioner, dan sama sekali tdk dapat lagi bersandar kepada pemerintah karena kepentingan mereka hanyalah untuk para infestor dan ini sudah merupakan ikatan ekonomi yang paling determinan yang mereka bangun, desisi kebijakan yang menjadikan kepentingan masyarakat menjadi sesuatu yang eksterioritas.