0
Saturday 2 October 2010 - 04:17

Dari Medan, Cerita Itu Terdengar ‘Hollywood Sekali’

Story Code : 38917
Dari Medan, Cerita Itu Terdengar ‘Hollywood Sekali’
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu berbicara soal perlunya polisi menjelaskan alasan kenapa mereka menembak mati dua orang yang diduga terkait “terorisme dan perampokan” Bank CIMB-Niaga di Medan bulan lalu, banyak hati yang merekah. Ini mengingat rasio “teroris” yang ditangkap hidup-hidup dan ditembak mati oleh pasukan khusus polisi sudah cukup “bersinar” untuk mengembalikan ingatan publik pada aksi Penembak Misterius atas kalangan preman di zaman Orde Baru. Kantor berita The Associated Press pada Juni menuliskan rasio kill-to-capture Datasemen 88 telah mencapai: 4:1.

Sejauh ini, polisi nampaknya percaya – dan ingin publik percaya – kalau “teroris Medan” itu adalah bagian dari kelompok internasional “Al-Qaeda” yang “ingin merebut kekuasaan” dan “mendirikan negara Islam” di Indonesia. Kata polisi, mereka telah merekrut kalangan preman dan punya rencana besar mengimpor “mujahid internasional” dari Afghanistan. Mereka juga telah belajar teknik perang, olah fisik ala militer dan cara menggunakan senjata di pedalaman Aceh. Polisi telah menyerbu tempat pelatihan itu sebelumnya. Mereka menembak mati sejumlah orang di antaranya lalu dari yang tertangkap, kata polisi, terungkap kalau pelatihan “Al-Qaeda Aceh” juga dimaksudkan sebagai persiapan pengiriman mujahid ke Gaza, Palestina.

Kata polisi lagi, “teroris Medan” dan “Al-Qaeda Aceh” ingin membalaskan dendam rekan-rekan mereka yang mati diterjang pelor polisi. Sasarannya: pos polisi dan markas militer. Dan untuk semua ini, kata polisi lagi, selusin lebih mereka nekat merampok Rp 400 juta dari CIBM Niaga di siang bolong. Seorang polisi tewas tertembak kala itu. Lalu ketika polisi berhasil mengepung dan menembak mati beberapa di antaranya pekan lalu, “teroris Medan” itu dalam hitungan hari membalas dengan menyerbu dan menembak mati tiga polisi di sebuah pos di luar kota Medan.

Cerita polisi itu seperti air bah ke banyak rumah – dan nampaknya memang dibeli orang – lewat mulut pers yang nampaknya membeli apapun kata polisi. Namun polisi sepertinya perlu menggaji kantor public relation yang lebih baik mengingat cerita mereka sejauh ini lebih mirip cerita film-film laga Hollywood.

Untuk satu hal, cerita polisi membawa implikasi kalau mereka sedang berhadapan dengan sekelompok begundal miskin yang tega. Mereka jelas berbahaya harus segera ditangkap hidup-hidup. Dan cerita mereka akan mendatangkan “mujahid internasional”, tentu mengharuskan mereka perlu uang yang banyak. Dan uang rampokan Rp 400 juta tempo hari itu nampaknya hanya cukup untuk membeli dua-tiga biji mobil keluarga. Orang juga bakal sukar membeli cerita sekelompok kecil orang miskin bisa mengambilalih kekuasaan di saat media telah sering memberitakan kalau untuk sebuah pemilu yang kesuksesannya didoakan semua orang saja, seorang kontenstan perlu keluar uang bermiliar-miliar. Lebih-lebih lagi, orang sukar menerima cerita “mujahidin Afghanistan” punya waktu luang yang banyak untuk terbang ke Indonesia dan berbuat makar di saat mereka sendiri masih kewalahan menghadapi musuh yang jelas: puluhan ribu pasukan Amerika yang mencaplok negara mereka hampir sepuluhan tahun terakhir.

Hal lainnya adalah Gaza dalam cerita polisi. Sudah rahasia umum di Timur Tengah kalau 1,5 juta orang di Gaza hampir semuanya tahu bongkar pasang dan menembak senjata. Dan hal terakhir yang mereka butuhkan di tengah blokade haram Zionis Israel – ini seharusnya memberi isyarat betapa susahnya mengakses Gaza – adalah “mujahid asing” yang baru belajar cara berbaris, menembak dan mengeker sasaran di usia 20an. Itu pun sembunyi-sembunyi. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/K/on/014]
Comment