0
Monday 4 October 2010 - 10:22

Kasur, Beras Tumpah dan Dengkul Tuan Satar Madsuhaidi

Story Code : 39138
Pedagang kaki lima, digusur.jpg
Pedagang kaki lima, digusur.jpg
Sudah hampir jam delapan pagi tadi saat empat helikopter terlihat terbang membelah langit Bekasi. Langit sedikit berawan di atas sana dan mereka –nampaknya lepas landas dari pangkalan udara di Halim – terbang dalam formasi seperti capung memadu kasih. Tiga yang berukuran besar seperti berlomba merayu satu yang kecil dan langsing sendiri. Kadang mereka hanya mengekor. Satu sesekali meliuk untuk mendekat, seperti ingin mencolek. 

Di bawah, di Cikampek dan Kalimalang, di Bekasi kota, Tambun dan kampung-kampung satelit Jakarta yang lebih jauh lagi, keruwetan hari kerja sebelumnya seperti luput dilarikan kereta malam. Jalan-jalan poros memang relatif lengang meski ada saja – untuk tak menyebut banyak – orang yang memacu kendaraan seolah mereka lupa mematikan kompor di rumah.

Tapi saya janji tak merusak Minggu Anda dengan keluh kesah, statistik kecelakaan lalu lintas ini itu dan banyak pertanyaan besar lainnya. Sebab kali ini saya punya sebuah cerita yang lain.

Pagi tadi, pagi yang sama saat empat capung besi mengangkasa di langit Bekasi, saya bersua dengan seseorang lelaki yang banyak dari hari demi hari dalam hidupnya diam-diam mengkhotbahkan sesuatu yang seharusnya sejak lama keluar dari mulut Tuan Honda, Yamaha, Suzuki, Ford, BMW, Mercedez -- semua raksasa otomotif yang lihai menjual mimpi ‘kebahagiaan beroda’ tapi lupa mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi manusia di jalan.

Dia, lelaki itu, sedang sarapan di sebuah warung di kecil di sebuah komplek perumahan di pinggiran Kalimalang saat saya menjumpainya. Menu di piringnya menu ala kadar –pas untuk perut pagi hari dan terbeli dengan Rp 6.000 di dompetnya. 

Dia menyuap pelan, pelan dan dengan mata yang tak pernah lepas ke luar jendela warung. Satu nyawanya memang ada di luar sana: sebuah gerobak beroda dua, berisi bantal, kasur segala jenis, ukuran dan warna. Semuanya dalam plastik. Bersusun-susun hampir dua meter.
Dia memang penjual kasur keliling. Profesi yang mungkin sebentar lagi masuk laci sejarah di tengah mimpi massal orang bisa tidur di kasur busa modern. 

Tapi sesuatu di bagian belakang gerobak itu menjadikan dia berbeda untuk seterusnya. Sebuah tulisan bercat putih dari sapuan kuas yang kasar. Sebuah kalimat dengan enam kata. Sebuah ungkapan yang susunan seperti mantera sihir:  “Sabar dong. Ini dengkul. Bukan mesin.” 

Apa yang telah diperbuat para pemilik kendaraan bermotor di Jakarta sampai-sampai lelaki penjaja kasur keliling itu sampai menulis ironi seperti itu? Kemalangan apa yang telah menghantamnya? Bukankah Ibu Kota ini penuh dengan mereka yang katanya maju dan beradab dan berpendidikan? 

Tapi Satar – ya, lengkapnya Satar Madsuhaidi, 60 tahun, anak tiga, cucu delapan, asal Purbalingga – bukan orang yang mudah didekati. 

Di menit saya memperkenalkan diri sebagai wartawan, di menit itu juga dia berpikiran saya punya tiga susun apartemen di Orchad Road, Singapura. Dia minta bayaran untuk wawancara – yang segera saya tolak. Dia menolak menyebutkan harga jual kasurnya – kecuali saya memang mau membeli – dengan alasan “pamali, masih pagi”. 

Tapi entah mengapa saya tak membeli semua penolakannya itu. Sebab cincin hitam ekstra besar di jari manis kanannya, kemeja lusuh putih bergaris vertikal dan celana punting hitam berkantong banyak di badannya, sendalnya yang telah tergerus aspal lalu juga legam kulitnya yang terbakar matahari … semuanya seolah mengisyarakatan hal yang berbeda; itu bukan suara Satar yang sesungguhnya. 

Dan saya beruntung. Lepas diam sebentar, lepas menyalakan sebatang rokok, dia mulai bercerita. 

Dia pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pada 1973, katanya. “Waktu itu,” katanya, “ongkos bus dari Purbalingga masih Rp 1.500. Terminal masih di Lapangan Banteng.”
Ingatan yang segar untuk sebuah masa bersejarah. Tahun 1973 adalah tahun-tahun di mana roda pembangunan Orde Baru berputar dalam kecepatan penuh. Pembangunan di semua lini. Suharto menyambut dengan tangan terbuka siapa saja londo yang mendarat di Halim dengan segepok uang. Lalu janji ketenangan dan kemakmuran yang menetes dari tuan-tuan besar untuk mereka yang miskin. 

Tapi Satar – dan banyak lainnya – tak pernah kena tetesan air pembangunan. Bahkan hingga hari ini, belasan tahun sejak dia pertama kali menjadi penjual kasur keliling, tetap saja tak ada pintu bank yang bisa terbuka. (“Yang saya jual itu sepenuhnya modal kepercayaan pemilik toko kasur,” katanya. “Tidak laku boleh dikembalikan.”) Justru Ibu kota – yang nampaknya semakin kaya dan bercahaya – yang kian tak ramah padanya. 

“Kesal,” katanya, “memang lauk-pauk kehidupan.” Tapi hatinya pernah hangus saat diteriaki orang sebagai “lelaki yang ditinggal istri” karena kemana-mana membawa bantal dan kasur. Dia juga kadang harus mengelus dada karena dilarang lewat di kawasan tertentu karena alasan “keamanan”. 

Satar bukan pencuri. Tapi dia nyaris menghapal luar kepala isi pekarangan hampir setiap rumah yang pernah dia lewati. 

Menit berlalu dan saya mulai bertanya kenapa dia menulis kalimat ‘ironi’ di sisi belakang gerobaknya itu. Jawabannya singkat: “Demi keselamatan orang lain.”

“Orang lain” yang Satar maksud adalah pengendara motor dan mobil. Kian hari, katanya, mereka seperti “beras tumpah”, tak mengenal tenggang dan penghentian.

“Jam tujuh pagi, bahkan jam lima subuh, di bawah jembatan Kranji,” katanya menyebut sebuah fly-over padat di Bekasi Timur, “saya seringkali tak punya kesempatan bahkan untuk menyeberangkan gerobak.”

Satar bilang dia sendiri bingung memahami lagak pengemudi Jakarta. Tapi dia punya kecurigaan besar: banyak dari mereka yang “asal tahu bawa motor/mobil saja”. “Mereka kadang menyalakan lampu weser kiri tapi jusru tetap jalan lurus,” katanya. “Saya jelas kagok bawa gerobak.”

Saya baru akan menggali ingatan Satar pada kebiasaan pengemudi di masa yang lewat, saat motor belum sebanyak sekarang, saat dia mulai menarik dompet dan bersiap meninggalkan warung. Di luar, di dekat gerobaknya, saya meminta izin mengambil gambar.

Tapi sekali lagi, sesuatu dari Jakarta ini, sebuah kecurigaan yang tak berdasar, membuat dia enggan memberi permisi. Saya putuskan tak mendesaknya dan kami berpisah. Dia mengambil sebuah topi capung, memasang di kepala, lalu bersiap pergi. “Soal permintaan bayaran wawancara tadi,” katanya sebelum mulai menarik gerobak, “saya hanya bercanda”.
Saya kembali mendengar suara Satar yang sesungguhnya. Seorang manusia sederhana di sebuah belantara bernama Jakarta Raya. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/k]

Alfian Hamzah: Wartawan dan koresponden Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times, tinggal di Jakarta
Comment