0
Friday 3 December 2010 - 23:15

Pajak Seperti Pukat Harimau

Story Code : 45819
Pukat harimau
Pukat harimau

Pemerintah Jakarta mungkin tak akan suka mendengar ini. Tapi kebijakan perpajakan teranyar mereka lebih nampak seperti pukat harimau yang membunuh ketimbang sebuah mekanisme distribusi kemakmuran yang melegakan orang banyak.

Betapa tidak, per 1 Januari 2011 nanti, mereka menjaring pemilik warung tegal, warung indomie, bubur kacang ijo, warung bakso dan usaha makanan rakyat sebangsanya dan menetapkan pajak 10% ke masing-masing usaha yang beromset Rp 60 juta per tahun.

Di Jakarta kemarin, Arif Susilo, seorang pejabat senior perpajakan daerah, bilang ada alasan kuat di balik kebijakan itu. Katanya: “Warung Tegal sudah masuk dalam prasyarat objek pajak menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.”

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah memberi stempel persetujuan atas rencana ini, katanya.

Oh iya, di hari yang sama, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, menyatakan dukungannya. Ke sejumlah media dia bilang kebijakan itu baik adanya dan “demi keadilan.”

Keadilan! Keadilan! Tapi Menteri Salim dan pejabat daerah mungkin lupa kalau warung tegal dan sebangsanya adalah usaha rakyat. Mereka tumbuh, menyerap lapangan kerja, menghidupkan perdagangan dan menghadirkan senyum di banyak warga kota – tanpa bantuan pemerintah.

Seperti dapur umum, hari demi hari dalam beberapa dekade terakhir, usaha rakyat ini menyediakan aneka masakan murah meriah. Sudah rahasia umum pula kalau pelanggan mereka kebanyakan dari kalangan yang hidupnya pas-pasan.

Hanya di warung inilah orang miskin Jakarta masih bisa makan dengan Rp 3.000 perak.

Pemerintah Jakarta perlu merenung dalam-dalam. Sudahkah mereka melakukan ‘kewajibannya’ sebelum menarik pajak dari dapur umur orang miskin kota? Sudahkah mereka menolong orang-orang miskin kota – yang nantinya harus membayar lebih mahal makan di warung tegal – dengan menyediakan lapangan kerja dan penghidupan yang layak? Sudahkah pemerintah daerah memberi bantuan permodalan, pelatihan kesehatan dan manajemen keuangan modern atau subsidi bahan makanan dan peralatan masak untuk para pemilik Warung Tegal? Pernahkah mereka memberi diskon pemakaian listrik dan air bersih? Pernahkah mereka memberi asuransi kesehatan dan pendidikan dan subsidi kredit perumahan untuk para pekerja di sektor ini?

Tak kalah pentingnya pertanyaan ini: pernahkah pemerintah menalangi pemilik warteg yang kesulitan modal dalam beberapa tahun terakhir – akibat melambungnya harga pangan dan sewa ruang usaha – layaknya mereka menggunakan hampir Rp 1.000 triliun uang rakyat demi menelangi segelintir taipan korup di tahun 1998?

Keadilan barang mahal di Jakarta. Dan kebijakan perpajakan teranyar pemerintah kota ini nampaknya bakal menambah arsenal kemarahan dan ketakpuasan orang banyak. Ongkos yang terlalu besar untuk sebuah kebijakan dengan potensi penerimaan Rp 50 miliar per tahun. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/K-014/on]
Comment