0
Wednesday 23 January 2019 - 16:00

Ribet Bantuan Dana Gempa

Story Code : 773753
Sejumlah pemuda dari beberapa komunitas di Kota Madiun menggalang dana bagi korban gempa Lombok. [Foto: surabaya.tribunnews]
Sejumlah pemuda dari beberapa komunitas di Kota Madiun menggalang dana bagi korban gempa Lombok. [Foto: surabaya.tribunnews]
ABDUL Hanam bersemangat mengisahkan bagaimana gempabumi pada 29 Juli 2018 memorak porandakan desanya dan bagaimana dia dan warga bertahan hidup hingga kini. Tapi, tetiba volume suara Kepala Desa Selengan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, itu mengecil ketika berbicara tentang bantuan dana Pemerintah untuk membangun kembali rumah warga.

Memasuki bulan kelima setelah masa tanggap darurat, Hanam bilang, belum ada kepastian kapan bantuan dana stimulan itu bisa diterima warga di desanya. “Kami malu kepada masyarakat kalau menyebut ini,” katanya ketika ditemui INDOPRESS.ID di Balai Desa Selengan, 9 Januari 2019. “Nanti kami ditanya lagi, kapan Pak? Makanya kami diam aja dulu.”

Sesekali sorot mata Hanam tertuju kepada puing-puing reruntuhan rumah di depan Balai Desa. Di antara reruntuhan itu, berdiri gubuk hunian warga beratapkan seng bekas dengan dinding kain spanduk bergambar wajah seorang politisi.

Sedikitnya 2.700 dari 3.000 rumah warga Selengan rusak akibat lindu beruntun yang menghantam Nusa Tenggara Barat sejak 29 Juli hingga 19 Agustus 2018. Sebagian besar tergolong rusak berat lantaran desa yang diapit oleh Laut Jawa dan Gunung Rinjani ini merupakan titik pusat gempabumi berkekuatan dari 6,4 SR hingga 7 SR.

Di Dusun Dompo Indah, misalnya, semua rumah rata dengan tanah. “Di tempat kami ada 191 rumah, semuanya hancur,” kata Kepala Dusun Dompo Indah, Ahmad Kurdi.

Bahkan, 26 rumah di antaranya kehilangan lahan akibat longsor. Gempabumi telah membuat sebagian tanah Dusun di atas bukit Selengan itu amblas hingga menyeret rumah-rumah di atasnya jatuh ke tebing. Sebelas orang dilaporkan tewas.

Menurut data per 7 Januari 2019, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB mencatat 44 ribu rumah rusak berat dari 49 ribu rumah yang digoncang gempabumi di Lombok Utara. Jumlah ini terbanyak jika dibandingkan dengan total rumah yang rusak berat di enam kabupaten lain.

Di seantero NTB, rumah rusak mencapai 216 ribu unit dengan lebih daripada 75 ribu di antaranya tergolong rusak berat. Ini berarti Lombok Utara menyumbang 58,6 persen rumah rusak berat akibat gempabumi tersebut. Jumlah korban jiwa di Kabupaten ini pun yang terbesar jika dibandingkan dengan kabupaten lain: 471 atau 83 persen dari 567 korban tewas di NTB.

Sebelumnya atau dua hari sebelum masa tanggap darurat berakhir pada 25 Agustus 2018, Istana menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana NTB. Dalam Instruksi, Presiden Joko Widodo berjanji mengucurkan bantuan 50 juta rupiah bagi setiap rumah rusak berat; 25 juta rupiah untuk rumah rusak sedang; dan 10 juta rupiah bagi rumah rusak ringan. Kucuran bantuan dana ini merupakan perintah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Bencana bahwa Pemerintah wajib membantu perbaikan rumah yang terdampak bencana.

Kementerian Keuangan diminta mengalokasikan bantuan dana berdasarkan usulan dari pemerintah daerah setelah diverifikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Jika Kementerian menyetujui, BNPB akan menerima transfer dana tersebut untuk kemudian dikirim ke BPBD NTB sebelum diteruskan kepada rekening warga.

Sementara itu, warga yang berhak mendapatkan rekening bantuan harus melewati tahap verifikasi oleh tim teknis pemerintah daerah. Jika rumah mereka telah terverifikasi rusak berat, sedang, atau ringan, mereka akan mendapatkan surat keputusan (SK) penerima rekening.



Prosedur birokrasi tersebut tampak bakal berjalan normal tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Di Selengan, baru sekitar 700 rumah yang menerima rekening dari 2.700 rumah yang diguncang lindu. Sebagian besar penerima golongan rusak berat pun baru mendapatkan saldo tahap awal senilai 25 juta rupiah. Adapun sisanya dijanjikan akan dikirim dalam dua tahap.

“Hanya penerima SK pertama yang mendapat 50 juta rupiah tanpa tiga tahapan itu,” kata Hanam. “SK pertama diberikan ketika Presiden Jokowi datang ke Lombok.”

Kurdi menjelaskan, saldo yang masuk ke setiap rekening warga tak bisa begitu saja digunakan. Warga harus terlebih dulu membentuk kelompok masyarakat atau pokmas, yang terdiri dari sepuluh keluarga.

Ketika pokmas telah terbentuk, saldo di rekening setiap anggota akan berpindah ke rekening pokmas. Pokmas yang didampingi unsur BPBD inilah yang akan mentransfer duit kepada penyedia atau toko bahan bangunan di luar Lombok. “Jenis kayunya harus sesuai dengan petunjuk pelaksana (juklak) dan teknis (juknis) Pemerintah,” kata Hanam menjelaskan mengapa bahan bangunan pun harus didatangkan dari luar Lombok.

Uang baru bisa dicairkan tunai oleh pokmas hanya untuk membayar upah tukang bangunan. Jika satu rumah menghabiskan 40 juta rupiah, 10 juta rupiah sisanya pun harus dikembalikan ke rekening negara. “Sebab, duit itu untuk rumah, bukan untuk belanja,” kata Kepala BPBD NTB, Ridho Ahyana, ketika ditemui INDOPRESS.ID di Ibukota Provinsi, Mataram, 9 Januari 2019.

Adapun jenis rumah yang ditawarkan Pemerintah ialah rumah instan kayu (Rika),rumah instan konvensional (Riko), dan rumah instan sederhana sehat (Risha). Ketiganya disebut sebagai rumah tahan gempa (RTG). Sejauh ini, menurut catatan BPBD, mayoritas warga memilih rumah instan kayu.

Persoalannya, hingga bulan kelima selepas masa tanggap darurat, belum ada satu pun dari ketiga jenis rumah itu yang tampak bediri di Selengan. “Kami tidak membangun rumah tapi membangun administrasi,” kata Kurdi menyindir ribetnya tetek bengek juklak dan juknis pencairan bantuan dana. “Bahkan hingga kini masih ada warga yang sama sekali belum menerima rekening.”

Di Dompo Indah, misalnya, 81 rumah telah menerima rekening. Tapi, saldonya belum dapat digunakan lantaran pokmas belum terbentuk.

Untungnya, lembaga non-pemerintah seperti Aksi Cepat Tanggap membangun hunian sementara bagi semua warga Dompo Indah. Lembaga itu membangun hunian seluas 18 meter persegi di setiap lantai bekas reruntuhan dengan dinding tripleks dan atap baja ringan. “Kami bersyukur ada bantuan ini,” ujar Kurdi. “Yang penting aman dulu dari hujan dan cuaca panas.”

Tak sabar menanti janji dari Jakarta, sebagian warga telah memulai membangun rumah dengan uang sendiri. Kurdi pun mendorong inisiatif ini agar warganya bisa cepat bangkit tanpa menggantungkan harapan kepada bantuan dana Pemerintah. “Kami harus move on dari musibah ini,” kata pria yang juga bekerja sebagai guru ini.

Sementara itu, Ridho berjanji akan menuntaskan bantuan pembangunan hunian tetap pada Maret tahun ini. Ia berani menyatakan itu karena Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menjanjikan hal yang sama ketika berkunjung ke Lombok dua bulan lalu. “Kami usahakan sampai Maret 2019,” kata Kalla di Kantor Gubernur NTB, 4 November 2018.

Jakarta juga mengklaim telah mengirimkan bantuan 3,5 triliun rupiah ke kantong BPBD NTB. BPBD pun mengaku telah menyalurkan 1,6 triliun rupiah ke masyarakat.

Per 7 Januari 2019, BPBD melaporkan sebanyak 7.300 rekening kepala keluarga dan 497 rekening pokmas telah terisi dengan saldo bantuan. Sementara tiga ribu lebih rumah tahan gempa sedang dalam proses pembangunan.

Namun, Kurdi menyangsikan laporan tersebut. Dia bilang, di atas kertas memang tertulis saldo 25 juta rupiah tapi warga tak dapat memastikan ada atau tidaknya fulus di dalam rekeningnya.

Kurdi juga mempertanyakan nasib 26 warganya yang tanah mereka hilang akibat longsor. Mereka sulit untuk mendapatkan rekening karena tak bisa diverifikasi. “Kalau pun mereka mendapatkan bantuan 50 juta, rumah mereka mau dibangun di mana? Di atas laut?”

Kurdi telah menyampaikan masalah ini kepada pejabat BPBD. Kurdi juga menyambangi Bupati Lombok Utara di kantornya yang berjarak sekitar 30 kilometer dari dusunnya.

“Tujuan saya sederhana: biarkan mereka mendapatkan bantuan tunai 50 juta rupiah, agar mereka dapat membeli sebidang tanah dan membangun rumah seadanya,” katanya. Dia berharap bupati memberi keringanan kepada 26 warganya sehingga tidak perlu seluruh juklak dan juknis diterapkan terhadap ke-26 warga itu.

Upaya Kurdi pun akhirnya tak membuahkan hasil. Ke-26 warga yang kehilangan tanah itu masih menumpang di lahan milik orang lain.

Kepala BPBD, Ridho Ahyana, mengaku telah mengetahui masalah yang menimpa 26 warga di Dompo Indah. Namun bagaimanapun, dia bilang, BPBD tak bisa memberi bantuan tunai kepada masyarakat.

“Kami tidak percaya kepada masyarakat,” kata Ridho. Ia khawatir, masyarakat akan membelanjakan uang itu untuk memberi barang lain, seperti sepeda motor dan emas. “Saya berbicara seperti ini karena saya orang lapangan, bukan orang kantoran.”

Bagi Kurdi, persoalan ini sebenarnya sederhana. Pada prinsipnya, tanpa perintah Pemerintah pun, warga pasti akan membangun tempat tinggalnya yang diluluhlantakkan gempabumi. “Kalau warga belanja sepeda motor tapi belum punya rumah, memangnya mau ditaruh di mana sepeda motornya?”

Baik Hanam maupun Kurdi justru percaya warga mereka mampu membangun rumah mereka sendiri jika diberi kepercayaan oleh Pemerintah. Bahkan, mereka bilang, biayanya bisa lebih murah daripada perencanaan Pemerintah karena warga dapat memanfaatkan bahan bangunan di sekitarnya dan tak perlu repot-repot mencarinya hingga ke luar NTB.

Dengan melihat kondisi tersebut, Kurdi tidak percaya bahwa bantuan dana untuk hunian tetap akan rampung pada Maret 2019. Apalagi pendataan administrasi hingga kini belum juga selesai.

“Itu khayalan,” katanya. “Setahun saja kalau kondisinya seperti ini tidak akan kelar.”

BPBD berdalih, lambatnya pembentukan pokmas yang menyebabkan lambannya pengisian saldo ke rekening. Selain itu, validasi ulang masih harus dilakukan di sejumlah pokmas.

“Ada yang tidak cocok dengan kelompoknya dan ingin pindah ke kelompok lain, padahal satu pokmas harus terdiri minimal sepuluh keluarga,” kata Ridho. “Selain itu, bahan bangunan seperti kayu kelas II tidak selalu tersedia sehingga proses pembangunan terhambat.”

Sumber INDOPRESS.ID yang tak mau namanya dikutip punya cerita lain. Dia bilang, bantuan dana 3,5 triliun rupiah sebenarnya belum mengisi rekening BPBD NTB. Hal itu karena Jakarta cekak duit, apalagi setelah Palu dan Donggala (Sulawesi Tengah) juga diguncang gempabumi, tsunami, dan likuifaksi pada 28 September 2018.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat, dana yang dibutuhkan untuk memulihkan NTB dan Sulawesi Tengah mencapai 34 triliun rupiah: Sulawesi Tengah 22 triliun rupiah sedangkan NTB 12 triliun rupiah. Tapi, dana yang tersedia di tangan Pemerintah hanya 18 triliun rupiah, dengan 12 triliun di antaranya diperoleh dari luar negeri, baik berupa hibah, realokasi proyek on-going, maupun utang.

Walhasil, Jakarta kekurangan 16 triliun rupiah untuk memulihkan dua provinsi tersebut. Terlebih, data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional itu dirilis pada 19 Desember 2019 atau tiga hari sebelum tsunami menghantam daerah pesisir Banten dan Lampung.

Pemerintah NTB menepis lambatnya realisasi bantuan dana rumah bagi masyarakat. Mereka bahkan mengklaim proses pemulihan di NTB berlangsung lebih cepat jika dibandingkan dengan pemulihan Aceh setelah wilayah di ujung Sumatera itu dihantam gempabumi dan tsunami pada 2004.

“Di NTB, kami sudah bicara pembangunan hunian tetap pada masa tanggap darurat,” kata Pejabat Sekretaris Daerah NTB Hartina dalam sebuah konferensi pers di Mataram, 9 Januari 2019. “Sementara di Aceh, persoalan rumah baru dibicarakan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi.”

Konferensi pers itu dilakukan beberapa jam setelah Gubernur NTB Zulkieflimansyah terbang ke Jakarta. Ia memenuhi panggilan rapat bersama Wakil Presiden terkait pemulihan NTB. Menurut Hartina, Gubernur hampir setiap dua pekan terbang ke Jakarta hanya untuk mengikuti rapat masalah pemulihan, terkadang diudang oleh Istana, BNPB, atau kementerian tertentu.

“Ibu Puan Maharani (Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan–red) yang paling sering mengundang Gubernur,” kata Hartina. Dia mengatakan, seringnya Gubernur menghadiri rapat di Jakarta menunjukkan kesungguhan Pemerintah dalam memulihkan NTB.

Hartina juga menegaskan, kucuran dana 3,5 triliun rupiah telah sampai di NTB. Walaupun, dia bilang, nilai bantuan itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan dana yang dibutuhkan.

Hanya, menurutnya, dana itu belum dapat diwujudkan menjadi rumah karena terkendala ketersediaan jenis kayu yang dibutuhkan rumah tahan gempa. Apalagi mayoritas masyarakat memilih hunian jenis Rika dan Riko yang berbahan kayu kelas II.

“Kayu seperti itu mau didapat dari mana? Itu masalahnya,” kata Hartina. Ia bilang, penyedia jasa konstruksi rumah tahan gempa sangat ketat memilih bahan lantaran ogah mendengar komplain setelah pembangunan rampung.

Namun, tak hanya kepala desa dan kepala dusun yang merasakan kesulitan mendapatkan alokasi dana. Dinas Kesehatan Lombok Barat, misalnya, mengaku berulang kali gagal mendapatkan alokasi dana yang telah diajukan.

Bahkan, tim kesehatan yang diterjunkan Dinas Kesehatan ke lapangan lima jam setelah gempabumi terpaksa urun duit dari kantong pribadi untuk mengongkosi akomodasi dan logistik. Sekretaris Dinas, Ahmad Zaini, mengatakan, setidaknya selama dua bulan, dia dan tim bekerja dengan uang sendiri ditambah sumbangan dari sana-sini.

Tim Dinas Kesehatan berhasil mengumpulkan duit hingga 25 juta rupiah. Uang itu dibelanjakan untuk membeli bensin ambulans, logistik pasien, hingga piket petugas puskesmas.

“Sampai-sampai kami bilang ke petugas puskesmas, siapkan uang sendiri,” katanya kepada INDOPRESS.ID. “Kami sudah meminta dan berkoordinasi (dengan Pemerintah pusat dan BPBD) tapi alokasi seperti itu tidak tersedia.”

Sementara itu, Direktur Tanggap Darurat BNPB, Medi Herlianto, mengingatkan, keterlambatan pemulihan bisa memperbesar nilai kerugian akibat gempabumi. Menurutnya, nilai total kerugian akibat gempabumi di NTB mencapai 18 triliun rupiah. “Tapi, kalau kita delay (terlambat) memulihkan, kerugiannya bisa bertambah,” ujarnya.

Medi menjelaskan, keterlambatan pembangunan hunian tetap bisa mengganggu kesehatan warga. Apalagi, sejumlah tenda pengungsian kini dilaporkan rusak setelah digunakan berbulan-bulan. Jika warga jatuh sakit, kebutuhan akan pengobatan meningkat.

“Ini satu contoh dampak delay,” katanya. “Jika ini diakumulasi, nilainya kan bisa menjadi kerugian ekonomi.”

Sejak akhir 2018, Dinas Kesehatan Lombok Barat bahkan telah mengendus merebaknya penyakit malaria di wilayahnya. Memasuki awal 2019, giliran penyakit demam berdarah yang menjangkiti sejumlah desa menyusul kedatangan musim hujan.

Direktur Yayasan Skala Indonesia Trinirmalaningrum mengatakan, Pemerintah perlu mengevaluasi mekanisme penyaluran bantuan pemulihan. Jakarta, dia bilang, tak bisa hanya mengandalkan penyelenggara negara, seperti pemerintah daerah, dalam mendesain mekanisme bantuan.

Menurut Rini, demikian dia akrab disapa, Pemerintah perlu menghidupkan partisipasi masyarakat, sehingga penyaluran bantuan tak dimonopoli mesin birokrasi.

Rini memberi contoh, bagaimana bantuan hunian sementara dari Pemerintah di Petobo, Sulawesi Tengah, malah tenggelam akibat banjir. Padahal, masyarakat sudah mengingatkan bahwa wilayah itu rawan banjir.

“Dari laporan yang saya dengar, peristiwa serupa juga terjadi di sebuah desa di Lombok Utara,” katanya ketika ditemui INDOPRESS.ID di sela Seminar “Membangun Ketahanan Lombok dari Kampung” yang digelar oleh Yayasan Skala dan Sampoerna untuk Indonesia, di Mataram, 9 Januari 2019.

Dengan memanfaatkan potensi pengetahuan masyarakat, menurut Rini, Pemerintah sebenarnya cukup menjadi katalisator dalam penanggulangan hingga pemulihan setelah bencana. “Artinya, masyarakat tidak boleh dididik bergantung kepada Pemerintah,” katanya. “Pemerintah memang harus siaga, tapi jauh lebih baik jika masyarakat juga membangun kesiapsiagaannya sendiri.”

Salah satu pelajaran yang didapat Rini selama mendampingi masyarakat di Desa Obel-Obel, Lombok Utara, misalnya, ialah cara mereka menghilangkan trauma setelah bencana. Kesedihan mereka berangsur-angsur hilang ketika mereka sibuk membuat kain batik shibori secara bersama-sama.

Selama membatik, mereka biasanya saling berbagi kisah dan pengalaman. Dengan cara itulah, proses pemulihan trauma di antara mereka terjadi dan kebangkitan ekonomi masyarakat pun dimulai. “Prinsip partisipatif sangat penting.”[IT]

Sumber: https://www.indopress.id/article/nasional/ribet-bantuan-dana-gempa
Comment