0
Tuesday 3 January 2017 - 00:43

Di Balik Seringai Komunis dan PKI

Story Code : 596602
Kivlain Zein di Mindanao bersama Abu Sayyaf
Kivlain Zein di Mindanao bersama Abu Sayyaf
Ini mungkin hanya alasan klise saja bahwa "PKI dan komunis" adalah ideologi usang yang tak perlu ditakuti lagi dan tak mungkin tumbuh di Indonesia. Tetapi, alasan itu cukup logis dan bernalar ketika mengingat tembok Berlin sudah dirubuhkan, Raul Castro sudah "rangkulan" dengan Barack "Hussein" Obama, dan Cina malah menunjukkan jati diri sebagai kampiun kapitalis sejati ngangkangi AS.

Kita juga sudah tahu, kalau Rusia tak lagi berbau komunis sejak Nikita Khrushchev melakukan "de-Stalinisasi", sejak Mikhail Gorbachev giat menyebarkan ide "Perestroika" dan "Glasnost" dan sejak terakhir Vladimir Putin menjadi agak religius sebagai pemeluk Kristen Ortodoks.

Ah, barangkali Kivlan Zein, Backtiar Nasir dan Alfian Tanjung Cs perlu belajar ngaji ke seorang milyarder sinting bernama Roman Abramovich yang gemar menghambur-hamburkan jutaan poundsterling hanya untuk membuat sebuah klub sepakbola di Inggris menjadi tampak berwibawa, sebelum koar-koar soal PKI dan Komunis.

Atau mungkin saja orang seperti Kivlan Zein, Backtiar Nasir dan Alfian Tanjung Cs, mau mengatakan potensi kebangkitan komunisme patut diwaspadai karena masih ada Korea Utara. Wow, kalau itu, saya kira mereka sebaiknya menjadi tukang juru rawat kuda di padepokan Hambalang saja. Serius, pekerjaan itu jauh lebih bermanfaat dan bermartabat bagi mereka ketimbang membuat dagelan yang lebih jorok dari aksi seronok Nikita Mirzani.

Mungkin kita perlu bertanya ulang, kira-kira siapa sebenarnya yang ingin mengganggu kedaulatan NKRI? Ini serius! Kita malah perlu lebih khawatir terhadap ormas-ormas tertentu yang mengatasnamakan suatu agama atau apapun, bertindak barbar membubarkan dan menindas acara-acara keagamaan tertentu dengan memoncongkan congor sambil menjulurkan lidah sambil teriak-teriak KAFIR!.

Dari jalur yang amat remeh temah yang bisa dicari di internet, bahkan dari tukang becak dan pedagang asongan sekalipun, betapa muskilnya menyebarkan propaganda komunisme. Selain secara "ideologis" bertentangan dengan dasar negara Indonesia, lalu apa sih keuntungan mereka menyebarkan komunisme atau membangkitkan kembali PKI?

Pertanyaan itu penting, sepenting jawaban adanya sekelompok tertentu, -jika ada-, yang menginginkan PKI bangkit lagi. Dan hal tersebut sampai detik ini tak pernah terjelaskan dan terdefinsikan. Kita hanya disuguhi paranoia soal "kebangkitan PKI" tanpa alasan yang konkrit, logis dan masuk nalar oleh para propagandisnya.

Tapi, mungkin seseorang perlu mengingatkan kembali orang seperti Kivlan Zein, Backtiar Nasir dan Alfian Tanjung Cs soal surat Bapak Revolusi Islam, Imam Khomeini yang dikirim kepada Mikail Gorbachev, presiden terakhir Uni Soviet. Bapak Revolusi Islam dalam penggalan pesan surat itu menjelaskan akan keruntuhan masa depan Marxisme dan Komunisme, dan mengajak Gorbachev kembali kepada Fitrah dan memeluk agama Tauhid.

Dalam penggalan surat itu Imam Khomeini menasehati Gorbachev; "Bagi semua orang, sudah jelas sejak saat ini, Komunisme harus dicari di museum sejarah politik dunia. Saya harap Anda mempelajari Islam dengan serius. Bukan karena Islam dan umat Islam memerlukan Anda, namun, nilai-nilai Islam yang luhur dan universal yang mampu memberikan jalan kesejahteraan dan kebebasan bagi semua bangsa."

Surat itu ditulis pada tanggal 3 Januari 1989, dan dibalas Gorbachev, delapan pekan kemudian dengan mengirim utusan Edward Shevardnadze, Menteri Luar Negeri Uni Soviet, untuk bertemu Imam Khomeini di Tehran.

Tiga tahun pasca surat Imam Khomeini itu diterima, Komunis dan Marxisme kemudian runtuh ketika pada Desember 1991, Mikail Gorbachev secara resmi mengumumkan pembubaran Uni Soviet. Lalu, siapa kira-kira kali ini yang berharap Indonesia runtuh? Mengapa orang seperti Kivlan Zein, Backtiar Nasir dan Alfian Tanjung Cs sebegitu semangat mengaduk aduk perasaaan dan emosional rakyat untuk mengulang kembali genosida 30 September 1965?. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times]
Comment