0
2
Komentar
Wednesday 13 October 2010 - 15:58

Untuk Palestina, Bersepuluh Mereka Meninju Dunia

Story Code : 40189
Free Palestina 1.jpg
Free Palestina 1.jpg
SEJAUH YANG SAYA ingat, Iwan Fals adalah musisi terakhir Indonesia yang pernah meneriakkan penderitaan orang-orang di negeri yang jauh; Ethiopia, lagu yang secara khusus mengabadikan kelaparan dan kematian massal dan “burung-burung nazar yang terbang di sisi iga-iga yang keluar” di Afrika di era 80an. So saat seorang kawan menyerahkan sebuah demo album amal We Are All Palestinians, berisi 10 lagu dari 10 band Indie Indonesia yang kesemuanya bercerita tentang derita orang-orang Palestina di tangan Zionist Israel, saya nyaris tak percaya. 

Hampir 25 tahun telah berlalu lepas Ethiopia dan selama itu pasar musik Indonesia sepertinya telah jadi ‘pekarangan belakang’ MTV dan kanal musik londo sebangsanya. Ini belum lagi lagu-lagu pop dalam negeri yang melulu mengorbit di jalur cinta, cinta dan cinta; tentang patah hati, mau menikah, selingkuh tipis-tipis. Bahkan bunuh diri. 

Mereka yang berkolaborasi di We Are All Palestinians – peluncuran perdananya dalam satu dua bulan ke depan di Jakarta – mungkin belum menyalakan alarm perhatian banyak orang. Ini nama-nama mereka:
Astrolab, Blackstar,
ELKA, Folkaholic,
Jellybelly, Lull,
Sajama Cut, Sodara Sodari,
Tropical Thrust, Zeke and The Popo 

Tapi mereka ini, semua mereka, punya penggemar di kalangan anak muda. Konser mereka saban sebentar di dalam negeri, sesekali ke luar. Saya kira, bila semua penggemar mereka di internet disatukan, total jenderalnya bisa menembus puluhan ribu orang. 

Latar belakang mereka juga sangat beragam. Yang saya tahu, umumnya mereka jebolan universitas. Sebagian bekerja sebagai orang kantoran, ada yang masih kuliah dan, ini yang belum saya sempat konfirmasi, salah seorang di antara vokalis band itu beragama Nasrani.
Sejarah besar. Bahkan untuk ukuran dunia sekalipun. Sebab saya kira mereka lah, musisi-musisi muda dari beragam latar itu, yang pertama kali meluncurkan album musik kolaborasi tentang Palestina.

Dalam 1-2 tahun terakhir memang telah bermuncul musisi di berbagai negara yang mengecam penjajah Zionist Israel atas Palestina. Tapi umumnya ekspresi mereka dalam bentuk lagu tunggal, bukan album kolaborasi. Ini termasuk LowKey, rapper London yang lagu tunggalnya Long Live Palestine sempat merajai penjualan di Amazon.com.uk selama hampir sebulan. 

Tapi sebelum jauh, saya kira harus saya sebutkan dari awal kalau terakhir kali saya menyimak lagu sampai berulang-ulang praktis delapan tahun lalu. Persisnya: dalam sebuah reportase di sebuah basis operasi militer tentara Indonesia di Aceh, di sebuah kamar penuh serdadu yang ingin mengusir kebosanan dengan mendengarkan sekaset penuh lagu Black Brothers, band kenamaan Papua, dan, dulunya belum setenar sekarang, Inul Daratista. 

Dengan latar seperti itu, saya kira jadi wajar jika saya tiba-tiba merasa berada di sebuah perpustakaan musik yang luas saat pertama kali menyimak We Are All Palestinians.
Album yang kaya bunyi. Beragam suara, irama dan aliran. Layak dengar untuk kuping mana saja yang bisa menangkap bahasa Inggris. 

Di satu track, saya serasa mendengar Bruce Springsteen sedang menyanyi tentang Palestina. Di track lain, saya serasa mendengarkan musisi londo mendendangkan Palestina di sebuah konser akbar di jantung Berlin. 

Track berganti dan saya serasa bisa mendengarkan dengus kemarahan dari dentuman drum. Ada nada-nada keheningan, kegalauan dan desah perlawanan. 

Di salah satu lagu, saya juga serasa sedang mendengar seorang vokalis perempuan sedang menyanyi untuk adik kandungnya di Palestina sana. Lalu ada juga musik yang ditingkahi suara-suara kegeraman seorang anak perempuan kecil di Gaza yang mainannya hancur kena hantam roket Israel. (Rasa-rasanya, saya pernah mendengar suara bocah yang sama dalam film 101 Occupation.) 

Saat terus menyimak kesepuluh lagu itu, pertanyaan seperti menumpuk: Dari mana musisi-musisi muda ini mengenal Palestina? Bukankah Palestinya jarang menjadi pembicaraan besar di Indonesia? Ada apa sampai mereka seperti kebal dengan kerja mesin-mesin propaganda Zionist Israel dalam 60 tahun terakhir? Apa yang membuat mereka bisa menyanyikan sesuatu yang bahkan tak tergapai untuk ukuran penerima Nobel Perdamaian seperti Barack Obama? 

Kemarin malam saya putuskan menemui salah satu dari band itu. Mereka yang pilih tempat dan pilihan mereka seperti bercerita dengan sendirinya tentang dunia banyak anak muda Jakarta. Kuningan Village di jantung distrik bisnis Kuningan adalah sebuah tempat santai pekerja kantoran di kawasan itu. 

Di situ ada sebuah lapangan permainan futsal tempat orang-orang muda membakar lemak dan mengusir penat kantor. Ada belasan gerai makanan untuk beragam selera lidah. Ada kerlip lilin di meja yang gelap, musik jazz yang sebentar-sebentar mengalun, lalu tawa, canda, harum parfum dan gadget modern di hampir setiap meja. 

Ini kurang lebihnya yang saya dapat dari grup band itu, namanya Folkaholic, selama hampir dari dua jam interview. Sebuah cerita bercampur kepulan asap rokok, bau makanan yang meruap dari meja di kiri dan kanan, yang nampaknya cukup menggambarkan tentang musisi anak negeri yang telah berusaha untuk mengingatkan orang pada derita Palestina:
Folkaholic berdiri di awal tahun 2009. Personelnya awalnya hanya dua orang. Harriz Jati (Gitar 1) dan Pratomo (Gitar 2).

Belakangan, mereka tambah anggota: Prabowo (Bass), dia sebenarnya saudara kembar Pratomo, dan Indra Aditya Sanjaya (Drum). Semua mereka lulusan Universitas Indonesia dan sudah pada bekerja. Usia semuanya di bawah 24 tahun, belum ada yang menikah. Kecuali Prabowo yang malam itu berkaos oblong, tiga lainnya datang masih dengan seragam kantor: kemeja, celana kain, pantopel hitam dan potongan rambut yang bergaya. 

Mereka silih berganti bicara. Mereka cerita kalau band mereka telah menghasilkan delapan lagu. Semuanya mereka pajang di internet. Gratis untuk didengarkan siapa saja.
Musik mereka, katanya, beraliran “eksperimental/post rock”. 

Saya berkali-kali bertanya soal yang terakhir itu. Dari yang saya tangkap, kurang lebihnya begini: jika rock ibarat Metromini yang hingar bingar, post rock mungkin ibarat halte yang sejuk, tempat Anda bisa menikmati alunan rock yang “tenang”, penuh “permainan nuansa” dan “suasana”. 

Soal suara-suara musik yang bisa menghidupkan suasana itu, Jati mencontohkan lagu mereka On Your Way to Australia; persembahan untuk “seorang kawan” yang akan terbang lalu lama menetap di Australia. Rainfall, katanya, mereka buat saat hujan lebat mengguyur Jakarta. Missing Football Time lahir saat mereka “keasyikan main musik” dan akhirnya ketinggalan menonton Liga Champion. Arsenic’s Victim: kenangan dan penghormatan mereka untuk Munir, pendekar HAM yang mati akibat diracun Arsenik dalam sebuah penerbangan ke Belanda beberapa tahun yang silam. 

Di album We Are All Palestinians, Folkaholic membawakan Sun Gazing. Durasinya paling panjang: 8 menit lebih. Di lagu itu, mereka meminjam suara seorang vokalis tamu. Namanya Ismi Halida. Dia tak hadir dalam wawancara malam itu. Tapi saya yakin dia berparas ayu. Dia guru musik, kata Jati, pemain biola sekaligus “finalis Abang None Jakarta 2010”. 

Jati juga cerita kalau Sun Gazing, secara harfiah berarti “menatap mentari”, adalah sebuah perlambang. “Bahaya yang konstan,” katanya merujuk pada penderitaan orang-orang Palestina. “Tapi menatap matahari juga bisa berarti harapan. Esok bisa lebih baik.”
“Yang terjadi di Palestina sekarang ini tak akan selama seperti itu. Suatu hari (penjajahan di sana) pasti berakhir!” 

Indra bilang persoalan Palestina dan keberingasan Israel di sana adalah sesuatu yang semestinya mudah dimengerti. “Kasat mata pun orang bisa tahu ada sesuatu yang salah,” katanya. “Banyak anak muda yang mungkin punya keprihatinan yang sama dengan kami,” kata Indra lagi, “tapi mungkin mereka bingung mengekspresikannya. Kami kebetulan bisa bermain musik.

Kami prihatin dan mencoba membantu. Sekalipun cuman dalam lagu.”
Pratomo juga ada cerita kalau keterlibatan mereka di We Are All Palestinian di luar dugaan. Tawaran, kata Pratomo lagi, awalnya datang dari Elka Band lewat sebuah pesan di Facebook. “Kala itu lagi ramai-ramainya peristiwa pembajakan kapal kemanusiaan Mavi Marmara dan kami antusias,” katanya. 

Dari yang saya dengar dari sumber-sumber lain, ELKA adalah palang pintu lahirnya album kolaborasi ini. Mereka yang sibuk mengatur sana sini dengan menggandeng Voice of Palestine, seorang organisasi nir laba pro-Palestina berbasis Jakarta, yang mensponsori lahirnya album ini. 

Jati dan Indra juga cerita kalau kelahiran Sun Gazing diawali “riset dan baca ini itu” di internet tentang kondisi orang-orang di Palestina. “Dari situ saya pribadi melihat ada semacam permainan politik dari Israel … untuk mengekalkan penjajahan di Palestina,” kata Jati.

Indra bilang proses perekaman lagu “cukup unik”. Metodenya live recording. “Memang musiknya terdengar jadinya kurang rapi,” katanya merujuk ke perekaman lagu langsung saat band memainkan keseluruhan alat musik. “Tapi kami sengaja menempuh itu untuk membangun suasana.” 

“Suer, ini galau banget. Betul-betul menggambarkan suasana di sana,” kata Jati menirukan ekspresi Ismi Halida, vokalis tamu, saat pertama kali membawakan lagu itu di studio rekaman.
Kata Pratomo, respon penggemar mereka di internet sejauh ini “cukup menggembirakan”. Ada juga yang nampaknya sinis, mempertanyakan kenapa Folkaholic tak menciptakan lagu untuk Sidoarjo misalnya, dan justru Palestina yang jauh. “Bagi kami,” kata Jati, “sebenarnya soal kesempatan saja. Kali ini kami kebetulan dapat kesempatan untuk melahirkan musik tentang Palestina.” 

Di ujung wawancara, empat personel Folkaholic mengajak saya datang ke sebuah konser mereka di bilangan Jakarta Selatan pada 24 Oktober. Ini kali pertama kami akan memainkan Sun Gazing di hadapan orang banyak, kata Pratomo. 

Saya mencoba mengiyakan tawaran itu. Sebelum berpisah, Jati cerita satu hal lain dan ini membuat saya berpikiran kalau Palestina nampaknya bakal segera menjadi perhatian besar kalangan anak muda dunia. 

Kata Jati, di pentas tanggal 24 Oktober itu, bakal tampil juga sebuah band asal Singapura: Under The Velvet Sky. “Dari lihat profile mereka di internet,” katanya, “mereka rupanya pernah membuat sebuah single tentang Palestina. Judulnya: Girl named Gaza”.
Hampir jam sembilan malam saat wawancara berakhir. Di perjalanan pulang, saya menyempatkan lagi mendengar Sun Gazing. Suara Ismi Halida dalam balutan post rock Folkaholic seperti tak pernah habis berbicara tentang perasaan banyak orang di Palestina saat ini:
Is this hard
Give me one
Ordinary life
Like everyone

Is this right
Dreaming back
Place called home
No more fight

Anger and pain
Being part of my life
No trust and hate
Why do I have to wear this mask of war

Can’t you hear my sound of life
Hoping there’s a better tomorrow
Palestine peace. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/on]

Alfian Hamzah, wartawan, koresponden Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times di Jakarta
Comment


Indonesia
ini sih b_and fav_orit saya nih..
Indonesia
semoga tinju kami kena sasaran ya bang . :)