0
Saturday 20 November 2010 - 11:28

Di Yogyakarta, Tantangan Besar Itu Menanti

Story Code : 44557
Merapi
Merapi

Media memang belum begitu menaruh perhatian. Tapi di daerah-daerah bencana dalam dua tahun terakhir, ada banyak orang yang telah mengenal Jaringan Solidaritas Kemanusiaan (JAUSAN).

Cerita haru sepak terjang kelompok siaga bencana asal Malang, Jawa Timur, di kawasan letusan Gunung Merapi, Yogyakarta.

Berbasis di Malang, Jawa Timur, tim relawan siaga bencana ini – orang-orangnya bersertifikasi Badan SAR Nasional – sering memicu keharuan besar di banyak daerah yang pernah mereka datangi. Gempa Padang, Oktober 2009, termasuk di antaranya.

Dalam 24 jam sejak kehadiran mereka di Padang Alai, salah satu daerah gempa paling parah di wilayah Pariaman saat itu, mereka bisa menghadirkan senyum di banyak wajah. Mereka memasang jaringan pipa-pipa air bersih, memulihkan jaringan listrik desa, mendistribusikan aneka kebutuhan pokok lalu sedikit uang untuk mereka yang berduka.

Tapi di Padang Alai hari-hari itu, orang tak dapat menahan air mata setelah tahu kalau belasan personel JAUSAN baru bisa sampai ke kampung mereka setelah melewati perjuangan ganas; hanya berkendara sebuah truk berukuran sedang dari Malang, melewati kota demi kota di jalur Pantai Utara Jawa dan Sumatera, melawan kebosanan, panas, hujan, dan bak truk yang sesak dengan pipa paralon, kabel-kabel listrik, genset, tong-tong berisi bensin dan solar, chainsaw, aneka perkakas dan peralatan inti operasi search and rescue. Orang juga terpesona begitu tahu relawan JAUSAN umumnya orang-orang kecil, yang sudah biasa 'hidup prihatin'. Di Malang, sebagian personel lembaga ini memang berprofesi sebagai buruh bangunan, supir truk, penjual kelapa dan guru SD.

Pekan ini, Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times menyempatkan berbicara dengan Denny Yudawan, Direktur Eksekutif JAUSAN, seputar aktivitas lembaganya dalam Bencana Merapi di Yogyakarta. Via email, dia membagi kondisi terkini di sana dan banyak cerita di pengungsian yang nampaknya masih luput dari perhatian media besar. Berikut petikannya:

Sudah empat pekan bencana Merapi, hampir 200 orang tewas, puluhan ribu mengungsi, belum termasuk triliunan kerugian fisik. Bagaimana kondisi terakhir di sana?

Aktivitas vulkanis Gunung Merapi belakangan cenderung menurun. Pemerintah juga telah mempersempit zona bahaya yang sebelumnya ditetapkan 20 kilometer dari puncak Merapi. Kini, zona bahaya untuk wilayah Magelang menjadi 15 km, Klaten menjadi 10 km. Tapi untuk wilayah Sleman, zona bahaya tetap 20 km. Ini mengingat buangan material vulkanis Merapi masih mengarah ke beberapa sungai di Sleman, termasuk Kali Woro, Kali Gendol, KaliKuning dan KaliBoyong.

Pada 16 November 2010, tim kami mendekat hingga enam kilometer dari puncak Merapi untuk memantau situasi setelah wilayah tersebut diguyur hujan deras semalam. Di titik itu kami sudah tidak mencium lagi bau belerang. Gemuruh masih sesekali terdengar meski tak sekeras satu dua pekan sebelumnya. Panorama: kehancuran total sejauh mata memandang. Perkampungan kini tinggal puing. Gunungan pasir di mana-mana. Pepohonan dan hutan-hutan desa bertumbangan dalam keadaan hangus.

Soal pengungsi, satu kata yang nampaknya bisa menggambarkan keadaan mereka saat ini: bosan. Ini sudah pekan keempat mereka menghabiskan banyak dari hari demi harinya di pengungsian dan tanpa tahu kapan mereka bisa kembali untuk merintis hidup baru di kampung-kampung mereka yang telah luluh lantah.

Sejauh ini, kebutuhan primer, untuk makan dan minum, di pos-pos pengungsian ‘resmi’ yang disiapkan pemerintah, masih mencukupi. Tapi di luar itu sebenarnya, masih ada ribuan pengungsi lain yang menumpang tinggal di kampung-kampung padat di seputaran Yogyakarta.

Kami telah menemui banyak dari mereka. Mereka hingga kini masih perlu bantuan kebutuhan primer. Posisi stok beras mereka umpamanya, hanya bisa bertahan hingga satu hari, belum lagi kebutuhan kewanitaan dan susu bayi. Rata-rata para pengungsi ini, baik yang berada di pos-pos “resmi” maupun yang dikampung-kampung, minim aktifitas. Seringnya, hanya anak-anak saja yang dilibatkan dalam fun game yang dipandu oleh para relawan. Sedangkan kalangan orangtua, yang sehari-harinya terbiasa dan bekeja dan berbagai aktifitas, mendadak jadi pengangguran. Saya kira ini yang memicu kejenuhan besar di kalangan pengungsi.

Bersamaan bencana Merapi ada Tsunami Mentawai. Apa yang mendorong Jausan memutuskan masuk ke Yogyakarta?

Sebelum terjun kelokasi bencana, Jausan biasanya memonitor perkembangan terakhir dari sumber-sumber resmi dan relawan yang lebih dahulu berada di lokasi bencana. Untuk bencana Merapi ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menghendaki Jausan terjun ke Yogyakarta.

Bisakah Anda sedikit membagi kegiatan relawan Jausan di Yogyakarta sejak persiapan keberangkatan dari Malang dan apa yang khas kali ini dibanding aktifitas kelompok Anda saat Gempa Padang?

Seperti dalam misi kemanusiaan yang sudah-sudah, Jausan selalu memulai aktivitas dengan memberangkatkan Tim Advance, gugus pendahulu. Tim pendahulu ini memikul beberapa tugas utama: termasuk orientasi medan, evaluasi eskalasi bencana, persiapan jalur distribusi bantuan, dan networking dengan organisasi relawan dan pemerintah. Dalam waktu 1X24 jam setelah tiba di lokasi, tim ini memberi laporan ke pusat organisasi di Malang, menjelaskan tentang kondisi di lapangan, lokasi pos komando dan perlu tidaknya penambahan peralatan atau personil. Untuk Bencana Merapi, tim pendahulu ini memutuskan untuk tidak perlu menambah personil ataupun peralatan karena dirasa masih bisa dikerjakan oleh tim ini saja.

Tentang kekhasan Merapi di banding gempa Padang, saya kira setiap jenis bencana punya karakter dan cara penanganan yang bisa jadi berbeda. Kondisi teritorial, ekskalasi bencana, dan budaya setempat juga merupakan pengetahuan awal yang mesti diketahui untuk menentukan pendekatan dan pola penanganan. Biasanya yang membedakan adalah masalah teknis di lapangan. Misalnya saja kita berhadapan dengan cuaca yang buruk, medan berat, jalan atau jembatan yang terputus. Hal ini berpengaruh pada jenis peralatan pendukung apa yang dipilih untuk mengatasi masalah-masalah teknis ini.

Di Merapi, kategorinya adalah bencana alam vulkanologi yang tentunya berbeda dengan penanganan gempa atau banjir. Bencana vulkanologi juga biasanya durasinya lebih panjang dan kerja semua pihak bergantung pada kestabilan gunung.

Di sebuah situs jejaring sosial, salah seorang relawan Anda di Yogyakarta menyebut soal “tantangan yang lebih besar jika ribuan pengungsi kembali ke rumah-rumah mereka”. Bisakah Anda menjelaskan hal tersebut lebih jauh?
Tugas besar pemerintah dan berbagi pihak, termasuk organisasi relawan, di Yogyakarta saat ini adalah memberi perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar ribuan pengungsi yang tersebar di berbagai kabupaten. Di sisi lain, di atas sana, kampung halaman para pengungsi itu terkubur pasir; rumah, sekolah, mushola, sawah ladang hilang tak berbekas; saluran-saluran air dan listrik putus; dan lingkungan, secara keseluruhan, sangat berdebu dan tak sehat.

Jika pemerintah nantinya memperbolehkan para pengungsi itu kembali, para pengungsi itu sebenarnya praktis mengungsi untuk kali yang kesekian. Bedanya, mereka kali ini justru mengungsi di kampung halaman sendiri, yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan dibandingkan tempat pengungsian di seputaran kota Yogyakarta.

Apalagi relawan yang ada di Yogyakarta saat ini saja jumlahnya sudah semakin berkurang, sehingga daya bantunya juga semakin kurang. Dan seperti yang sudah-sudah, pada saat tanggap darurat dinyatakan selesai, akan semakin minim juga perhatian untuk korban bencana. Padahal korban bencana ini masih berhadapan dengan problem yang belum selesai. Mereka masih berhadapan secara langsung dengan kondisi riil kampung halamannya yang terkubur pasir. Rawan pangan, rawan air bersih dan rawan kesehatan, sangat mungkin terjadi.

Apakah ancaman ini sudah cukup sampai disini? Saya kira belum. Masih ada ancaman lainnya yang juga mempunyai daya rusak yang sangat besar, yaitu longsor dan lahar dingin.

Inilah tantangan besar yang saya maksudkan. Pekerjaan kita belum usai.

Dalam hal ini, akan sangat baik (dan ini sudah saya usulkan kepada otoritas setempat) jika pemerintah daerah mempercepat pengkondisian infrastruktur di kampung-kampung yang luluh lantak sebelum pengungsi diizinkan meninggalkan lokasi pengungsian.

Donasi dan bantuan pemerintah, swasta dan publik luas untuk bencana Merapi masih memenuhi banyak pemberitaan media hingga hari ini. Bagaimana Anda melihat efeknya sejauh ini di lapangan?
Bantuan sejauh ini cukup banyak. Terutama yang di pos-pos pengungsian yang besar. Tidak hanya bahan pangan saja, namun juga kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti susu bayi, pempers, baju layak pakai, kebutuhan kewanitaan, selimut, higiene kit, dll. Namun untuk pos pengungsian yang berada di kampung-kampung, ketahanan pangan mereka rata-rata hanya cukup untuk satu dua hari ke depan. Itupun hasil distribusi yang dilakukan oleh para relawan yang melakukan penilaian dan pendataan dengan menelusuri pelosok-pelosok kampung, dan kemudian saling menginformasikan ke relawan lainnya baik melalui telepon atau melalui Twitter dan Facebook. Dari informasi ini, para relawan dapat saling bertukar informasi tentang alamat posko logistik yang bisa mensuplai, pos pengungsi yang membutuhkan bantuan, atau pos pengungsi yang berlebihan bantuan, dan hal ini sangat efektif untuk mempercepat pendistribusian bantuan.

Pemberitaan bencana Merapi masih mendominasi media dan ini tentunya bagus. Namun dari kedekatan Jausan dengan pengungsi dalam beberapa pekan terakhir ini, sisi mana menurut Anda masih kurang diberitakan?
Yang saya kurang mengerti adalah mengapa teman-teman media massa pemberitaannya terkonsentrasi di tempat-tempat pengungsian besar saja. Padahal terdapat ribuan pos-pos pengungsian lainnya di gang-gang sempit pemukiman di seputar Yogyakarta. Para pengungsi yang berada di rumah-rumah warga ini, untuk kebutuhan hidupnya selama ini dibantu oleh warga setempat. Warga urunan dari uang pribadinya untuk membeli bahan-bahan makanan, memasaknya lalu membagikannya dalam bentuk nasi bungkus. Beberapa Kepala Dukuh, atau koordinator posko di kampung-kampung itu mengatakan: “Kemampuan kami terbatas. Warga kami telah mengeluarkan uang dari dompet mereka sendiri, dan saat ini kondisi keuangan kami telah habis. Kami tidak tahu lagi harus bagaimana, karena tidak ada bantuan dari manapun yang kami terima”.

Dan saat ini, ada sebagian warga yang sebelumnya membantu pengungsi kini malah mengemis bantuan di pinggir jalan.

Hal-hal ini yang menurut saya perlu diberitakan agar dapat menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para penyumbang logistik yang selama ini minim informasi, sehingga kebanyakan para penyumbang ini menurunkan bantuannya hanya di posko-posko “resmi” saja.

Sedangkan tentang keinginan dan harapan para pengungsi sebenarnya cukup banyak dan beragam, namun keinginan dan harapan yang paling dominan adalah mengenai janji pemerintah yang akan membeli ternak mereka agar segera dapat direalisasikan. Keinginan ini nampak merata di kalangan pengungsi.

Sampai berapa lama tim Anda akan bertahan di Yogyakarta dan peran apa yang akan dijalankan Jausan sekaitan rencana rekonstruksi kawasan dan sumber penghidupan pengungsi Merapi?

Target awal kami sebenarnya dua pekan. Dalam perkembangannya, melihat situasi dan kondisi tempat-tempat pengungsian yang terpencar, Jausan memutuskan mensuplay kebutuhan pokok di desa-desa terpencil yang masih minim bantuan, di luar kebutuhan pengungsi di sekitar posko kami di Desa Taman Martani, Kecamatan Kalasan. Saat ini, Jausan juga telah memperbesar cakupan pendistribusian bantuan hingga ke Kecamatan Godean, Kecamatan Minggir dan Desa Bugisan yang sudah masuk wilayah Klaten.

Sejauh ini, lembaga kami telah mendistribusikan bantuan dari berbagai kelompok masyarakat ke 7.326 orang pengungsi. Selain mensuplai logistik, Jausan juga membangun jaringan dengan beberapa universitas, termasuk UPN Veteran, Universitas Gadjah Mada. Kami berharap mereka nantinya mau terlibat dalam penanganan proses belajar mengajar anak usia sekolah di pos pengungsian serta untuk kepentingan penanganan traumatic syndrom.

Jausan juga bekerja sama dengan empat tim tenaga medis yang terdiri dari 8 orang dokter dan 15 asisten dokter untuk pemeriksaan kesehatan pengungsi tiga hari sekali.

Tentang rencana rehabilitasi dan rencana rekonstruksi pengungsi, Jausan telah dihubungi oleh perwakilan BNPB agar dapat membantu menyiapkan personilnya untuk mengkondisikan sebuah wilayah di Kaliurang, minimal satu minggu sebelum pengungsi dipulangkan. Jadi, kami akan siap jika sewaktu-waktu dibutuhkan di lapangan. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/K-014/on]
Comment