0
15
Komentar
Thursday 13 September 2012 - 00:24
Menggugat Dogma Final

Rukun Iman dan Rukun Islam: Produk Interpretasi Sektarian atau Dogma Final?

Story Code : 194923
Photo: Latuff 2012
Photo: Latuff 2012

Oleh Muhsin Labib

Rukun Iman
Banyak orang menjadikan enam rukun iman sebagai salah satu kriteria pembeda antara mukmin dan sesat. Sebagian masyarakat awam menganggap rukun iman dan rukun Islam sebagai paket yang “turun dari langit” yang dipandang final dan tak layak didiskusikan, bukan sebuah produk interpretasi tentang agama dan akidah yang tentu saja spekluatif dan subjektif. Sehingga karena mindset inilah tidak sedikit tuduhan “sesat” dengan mudah dilemparkan terhadap orang atau aliran yang berbeda dalam merumuskan prinsip akidah.

Benarkah itu sudah final? Bila tidak alergi terhadap kristisisme, mari mengamati substansi dan sistematika enam rukun tersebut.

Pertama
Enam rukun iman mazhab ini didasarkan pada al-Qur’an. Yang perlu diketahui ialah perbedaan antara ‘percaya kepada’ dan ‘kepada bahwa’. Sejauh pengetahuan saya, semua item dalam rukun iman itu lebih difaokuskan pada ‘kepercayaan kepada’, bukan ‘kepercayaan tentang’. Padahal kepercayaan kepada Allah, malaikat dan lainnya adalah buah dari kepada tentang wujud Allah, malaikat dan lainnya. Inilah paradoks yang terlewat oleh banyak orang.

Kedua
Dasar pembentukan rukun iman dalam mazhab Asy’ariah adalah teks suci. Padahal menjadikan teks sebagai dasar kepercayaan yang merupakan produk spekulasi rasional kurang bisa dipertanggugjawabkan. Tapi apabila al-Qur’an dijadikan sebagai dasar keimanan kepada Allah, yang merupakan sila pertama dalam rukun iman, maka konsekuensi logisnya, kepercayaan kepada al-Quran mendahului kepercayaan kepada Allah. Bukankah al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah setelah meyakini keberadaan Allah dan setelah mengimani orang yang menerimanya (nabi)? Kepercayaan akan keberadaan Allah mesti diperoleh dengan akal fitri sebelum mempercayai al-Quran. Al-Quran adalah petunjuk bagi yang telah beriman, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di dalamnya. Al-Quran adalah pedoman bagi yang mengimani Allah dan nabinya. Artinya, al-Quran dijadikan sebagai dasar setelah memastikan wujud Allah dan kemestian kenabian Muhammad.

Ketiga
Dalam teologi Asy’ariyah rukun Iman mendahului rukun Islam. Padahal dalam sebuah ayat suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi s.a.w. diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS al-Hujurât, 49: 14): “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Keempat
Rukun pertama adalah keimanan kepada Allah. Apa maksud dari kalimat ini? Apakah meyakini keberadanNya saja ataukah keesaannya? Sekadar ‘kata kepada Allah’ masih menyimbang banyak pertanyaan.2) Apakah iman ini berhubungan dengan ‘iman kepada’ ataukah ‘iman tentang ketuhanan’? persoalan teologi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Pernahkah kita mendengar ayat yang terjemahannya (kurang lebih), “Dan apabila kau (Muhammad) tanya mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka berkata, Allah”. Bukankah ini sudah memenuhi standar keimanan kepada Allah?

Kelima
Rukun kedua adalah iman kepada malaikat. Mestinya bukan iman kepada para malaikat, tapi iman tentang malaikat. ‘Iman kepada’ mestinya muncul setelah ‘iman tentang’. Selain itu, iman kepada malaikat semestinya tidak muncul setelah iman kepada Allah (iman akan wujud Allah). Bagaimana mungkin bisa meyakini wujud para malaikat lengkap dengan departemen-departemannya sebelum mempercayai al-Quran yang mewartakannya? Kemudian, alasan yang mungkin dikemukakan oleh pendukung ialah bahwa iman kepada para malaikat itu tercantum sebagai salah satu sifat mukmin dalam al-Quran. Memang benar. Tapi, bila kepercayaan kepada atau tentang wujud para malaikat dianggap sebagai rukun (keyakinan fundamental) karena tertera dalam al-Quran, maka bukankah seluruh yang diberitakan dalam al-Quran juga mesti dijadikan rukun pula.

Bayangkan berapa banyak yang mesti dicantumkan dalam list rukun itu! Bukankah semua yang ada dalam al-Quran mesti diimani (dipastikan adanya)? Kalaupun keimanan kepada (tentang) para malaikat memang sebuah keharusan, tapi mestikah dijadikan rukun? Apa alasan rasional dan implikasi teologis dari keimanan kepada malaikat sehingga layak menempati urutan kedua dalam rukun iman, apalagi rukun yang mendahului iman kepada kenabian?

Keenam
Rukun ketiga adalah iman kepada (tentang) kitab-kitab suci.1) Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab suci? Apakah kita mesti beriman kepada Injil, Taurat dan zabur sebagai kitab Allah? Ataukah kita mesti meyakini bahwa Injil, Taurat dan Zabur pernah menjadi kitab-kitab suci? Apakah al-Quran juga termasuk di dalamnya? Bila al-Quran juga termasuk di dalamnya? Mana mungkin kita mengimani al-Quran dari teks al-Quran? Logiskah meyakini al-Quran sebagai wahyu karena al-Quran menetapkannya demikian di dalamnya? Selain itu, mestinya keimanan tentang Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab suci bersumber dari al-Quran, tapi meyakini al-Quran sebagai wahyu Allah bersumber dari kenabian Muhammad saw. Padahal keimanan kepada para nabi muncul setelah keimanan kepada kitab-kitab suci. Ini benar-benar membingungkan. Lagi pula, apa urgensi keimanan kepada (tentang) kitab-kitab itu sebagai rukun? Mengimaninya memang keharusan, tapi mengapa dijadikan sebagai rukun? Lagi-lagi, bila alasannya dicantumkan dalam list rukun iman karena tertera dalam al-Quran, maka mestinya banyak hal lain dalam al-Quran yang bisa dimasukkan dalam rukun-rukun iman.

Ketujuh
Rukun keempat adalah iman kepada (tentang) para rasul. Apakah yang dimaksud dengan ‘para rasul’ itu semua utusan minus Nabi Muhammad? Bila ya, mestinya hal itu diyakini setelah meyakini kenabian Muhammad saw. Padahal keyakinan akan kenabian Muhammad mesti tidak didasarkan pada al-Quran, karena keyakinan akan kebenaran al-Quran bersumber dari keyakinan akan kebenaran klaim Muhammad saw sebagai nabi. Keimanan kepada kebenaran al-Quran sebagai wahyu adalah konsekuensi dari keyakinan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Bila tidak, artinya keimanan kepada para rasul plus Muhammad, maka hal itu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin meyakini nabi Muhammad dan para nabi yang tercantum dalam al-Quran, padahal keyakinan akan al-Quran sebagai kitab wahyu muncul setelah keyakinan akan kebenaran klaim kenabian Muhammad saw sebagai nabi.

Kedelapan
Rukun kelima adalah iman tentang ketentuan Allah, baik dan buruk. Ini salah satu paradoks teologi yang paling membingungkan. Poin kelima ini telah dikritik oleh para teolog Sunni kontemporer karena dianggap sebagai sumber fatalisme.

Kesembilan
Rukun keenam adalah iman kepada (tentang) hari akhir. Inilah poin keimanan yang letaknya paling sistematis. Ia memang pantas berada di urutan terakhir. Hanya saja, perlu diperjelas, apakah hari akhir itu hari kiamat (di dunia) atau hari setelah kebangkitan (pasca dunia).

Kesepuluh
Yang mengejutkan ialah, bahwa manusia yang mengimani enam rukun diatas, meski tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, bisa dianggap mukmin. Mengapa?

Rukun Islam

Pertama
Rukun Iman Asy’ariyah tidak memuat dua kalimat syahadat. Ini cukup menimbulkan kebingungan. Padahal, kadar minimal dari iman yang mesti dipenuhi adalah iman kepada Allah Yang Esa, Kerasulan dan Kebangkitan. Inilah yang menuntut penerapannya secara lahir melalui shalat, puasa dan lainnya.

Sedangkan batas terbawah dari kekufuran adalah pengingkaran secara terang-terangan terhadap suatu perkara setelah menyadari kebenarannya, dan bertekad untuk menentangnya. Syirik (mengingkari tauhid) salah satu pemuncak kekufuran.

Kedua
Rukun Islam dalam teologi Asy’ariyah dimulai dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhamamad adalah utusan Allah. Konsekuensinya yang pertama, bila rukun iman mendahului rukun Islam, maka seseorang bisa dianggap mukmin sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat.

Konsekuensi kedua, bila dua kesaksian tersebut berdiri sejajar dengan shalat, puasa dan ibadah lainnya, maka penyebutan dua kata tersebut hanyalah bersifat fiqhiah, normatif, ta’abbudi, bukan aqidah dan produk inteleksi. Konsekuensi ini muncul sebagai akibat dari diturunkannya penyaksian ini pada rukun Islam.

Konsekuensi ketiga, kesaksian akan Allah dan kerasulan hanyalah sebuah ibadah yang masuk dalam regulasi fikih dengan hukum wajib, sebagaimana shalat dan puasa.

Konsekuensi-konsekuensi demikian sungguh membingungkan. Betapa tidak, dua kalimat syahadat itu adalah intisari dari totalitas dan iman dan Islam.

Ketiga
Dalam rumusan rukun Islam. shalat menempati urutan kedua setelah syahadat. Padahal secara sistematis, syahadat tidak berdiri sejajar dengan shalat, karena shalat memerlukan syahadat, sedangkan syahadat tidak memerlukan shalat. Mestinya shalat tidak berada dalam posisi berurutan dengan syahadat, atau syahadat semestinya tidak berada dalam satu kavling dengan shalat. Shalat bahkan tidak sah tanpa syahadat. Itu artinya, syahadat menjadi syarat bagi keabsahan shalat. Relasi antara keduanya tidak bersifat mutual. Bila diposisikan sejajar, maka ia menjadi semacam poin optional sebagai puasa dan zakat. Seseorang tetap disebut Muslim bila bersyahadat meski tidak shalat, puasa dan zakat. Sebailnya, tanpa syahadat, shalat dan puasa tak sah. Dengan kata lain, akan lebih aman secara sistematis, bila syahadat tidak menjadi salah satu bagian dalam rukun Islam.

Keempat
Menempatkan puasa sebagai bagian dari rukun Islam setelah shalat memang tepat, karena ia dan shalat sama-sama bersifat ritual dan praktis. Ini sama sekali berbeda dengan syahadat yang lebih ditekankan aspek pemikiran dan teoritikalnya. Zakat dan haji pun demikian, sudah tepat berada dalam urutan berikutnya. Hanya saja,shalat, puasa, zakat dan haji terasa lebih bersifat ritual. Akan lebih sempurna, bila ibadah sosial juga masuk di dalamnya seperti Amar makruf dan Nahi Mungkar yang bias ditafsirkan sebagai kewajiban menegakkan keadilan sosial dan memberantas kezaliman termasuk korupsi.

Interpretasi Sektarian
Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Islam dan Rukun Iman bisa didefinisikan dan ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda.

Pertama:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif (pemikiran) yang tidak mewakili pandangan teologi Sunni secara menyeluruh, karena Asyariyah adalah satu satu mazhab dalam himpunan mazhab Ahlussunnah.

Mazhab teologi Almaturidiyah dan Mu’tazilah, yang notabene lebih “sunni” dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi rukun Iman dan rukun Islam yang berbeda dengan rumusan Asya’riyah.

Ahlulhadits dan Teologi Salafi yang mengaku menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan detail tentang akidah yang berbeda dengan Asy’ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul-Hadits, yang sama-sama Sunni, dalam sengketa seputar Kalam Allah.

Kedua:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazah hadis dan Sunnah.

Dalam literatur hadis Ahlussunnah sendiri terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam teologi Asy’ariah.

Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlus-sunnah:
Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/30 Bab al Imân Ma Huwa wa Bayâni Khishalihi:
Riwayat dari Bukhari:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”

Riwayat dari Muslim:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi saw. muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”

Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya:
(1) Beriman kepada Allah,
(2) Kepada para malaikat,
(3) Kepada kitab-Nya,
(4) Perjumpaan dengan-Nya,
(5) Kepada para rasul.

Tidak ada sebutan apapun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar

Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya,1/35 Bab al Amru Bil Imân Billah wa rasûluhi, seperti di bawah ini:
قال امرهم بالايمان بالله وحده، وقال هل تدرون مالايمان بالله ؟ قالوا الله ورسوله اعلم، قال شهادة ان لااله الا الله وأن محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان وان تؤدوا خمسا من المغنم

“Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukan kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ”Tidak.” Beliau bersabda, ”Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).”

Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
1. Bersaksi Tiada Tuhan Selain Allah,
2. Dan bersaksi Muhammad adalah rasul Allah,
3. Menegakkan shalat,
4. Membayar zakat,
5. Berpuasa di bulan Ramadhan
6. Membayar khumus.

Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak boleh dipahami bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip yang niscaya dalam keislaman dan keimanan seseorang.

Ketiga :
Kata “rukun iman” dan “rukun Islam” adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran Asy’ariyah, bukan dogma final yang “wajib” diterima tanpa bias didiskusikan oleh siapapun, sehingga tidak akan pernah absah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat. Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” tidak bisa serta merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Menilai apalagi mensesatkan keyakinan orang yang tidak sekeyakinan dengan dasar keyakinan sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan antar Muslim. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times/on/Beritaprotes]

Penulis Doktor Filsafat dan Teologi Islam
Comment


Mantap sekali penjelasannya, penjelasan di atas tdk pernah saya dapatkan di sekolah dan pesantren. Pikiran saya jadi terbuka.
Indonesia
Haji, kok ngga ada ya?
Indonesia
aya aya wae
Australia
silahkan berbeda-beda asal tidak mengada-ada, Tuhan tidak akan mempertanyakan no urut, Dia tidak dibatasi logika, teks dan bahasa.
Germany
mantaf apanya..justru ga bisa dmengerti sama skali..lbih loeurlah
yah. adminnya mana.. . ..? yg bertanggung jawab lah jika memuat sebuah masalah. jawab dong pertanyaan di bawah itu yg kenapa gak ada haji bg penganut syiah ?
jika mempermasaalah kan nomur urut ? s.y jg ingin bertanya sama admin ato siapa saja. duluan mana ayam dengan telur nya. jika duluan telur siapa yg menelurkan nya jika duluan ayam , maka dari mana asal ayam tersebut ?
Germany
ente bingung ya?apa mau bikin bingung orang laen?muter2 kyk kentut bahasan nya...!
Ente org indonesia bkn?kalau iya,kok ente islam nya gk sama seperti islamnya leluhur dulu. BERPIKIRLAH YG JERNIH...!
IBARAT ISTILAH ORG JAWA,ANDA ITU GK LIAT HALAMAN RMHNYA SENDIRI...GK BERCERMIN DIRI
Australia
intinya penjelasan diatas mencoba untuk menggugat Aswaja dan itu sangat disayangkan. sebetulnya situs ini cukup baik untuk menyatukan umat islam (aswaja-syiah) kontra wahabi. hanya saja disayangkan tulisan teman teman syiah pengurus situs ini bisa melukai suni aswaja sebagai mana seringkali salafi wahabi juga melukai kami para suni aswaja. jika ingin persatuan maka kalian para syiah dikurangilah serangan serangan seperti ini. jadi kalian seperti wahabi juga akhirnya. dan itu semakin menjauhkan kita. NU mencoba membangun persatuan jangan dihianati. sesama pecinta ahlulbait dari kalangan Suni Syiah mari kita jauhkan statement kontra produkif. semoga Doktor penulis semakin dewasa dan arif. dah ente taqiah aja gak papa, kami pengikut umar bin khottob hanya menghukumi perkara zahir zahir saja. Sedang yang batin Alloh yang tahu. Rosululloh dan Ahlul baitnya melihat perbuatan kita dan cinta kita kepada mereka
tulisan yang baik, cerdas, dan kritis. seandainya warga muslim di indonesia dapat berpikir seperti anda, mungkin toleransi antar umat beragama dan antar umat islam sendiri di indonesia bisa jauh lebih baik. sayang, dilihat dari yang berkomentar, kebanyakan muslim di indonesia memang sepertinya belum siap untuk menerima pemikiran-pemikiran seperti ini, dan masih tenggelam dalam iman buta. mungkin masih beberapa puluh tahun lagi menuju muslim yang cerdas.
Kang Muhsin Labib, tlg donk dijawab pertanyaan ttg haji, knp tdk ada dlm rukun...
Sangat berguna ... meyakini Dinnul Islam tidak melalui dogma yang ada selama ini akan membuka hati dan pencerahan lebih dalam Iman kepada Allah... trima ksih tulisannya sdrku.
Australia
pencerahan yang baik dan bermakna membaca tulisan diatas saya tidak sedikitpun bingung krn saya tdk pernah bertakliq buta kepada mazhab apapun alhamdulillah krn kebenaran ada didalam hati kita atas dasar keimanan kita kepada Allah SWT
Untuk yang ngajinya berkesinambungan, yang tak pernah putus atau pun terus tapi secara terputus-putus, maka dengan kajian Fiqih, kita akan tahu, krn tidak semua org mampu naik Haji, jadi jangan dibuat masalah dah, kalau tidak teruarai disini.
maklum boz, orang islam indonesia imanya taklid buta.... padahal agama islam itu agama berfikir.. bukan status doang...

thank kang buat tulisannya... ngebantu bngt buat orang yng bodoh seperti saya.
Indonesia
Byar khumus buat kantong pendeta2 syiah. Pdhal uang lendir muttah udh byk bgt