0
Tuesday 25 November 2014 - 23:23

Suksesi Kepemimpinan Model Iran

Story Code : 421354
Ilustrasi (sundayschoolleader)
Ilustrasi (sundayschoolleader)

Dalam dua bulan terakhir ini, publik dunia kembali disibukkan oleh isu suksesi di Republik Islam Iran. Alasannya, 9 September lalu, Rahbar (sebutan Pemimpin Spiritual Iran dalam bahasa Persia) mendadak muncul di televisi nasional mengumumkan niatnya untuk menjalankan operasi prostat. Lalu, pada 21 Oktober, Ketua Majlis Khubregon (Dewan Pakar), Mahdavi Kani, yang paling berperan dalam suksesi pucuk kepemimpinan meninggal dunia setelah 3 bulan koma akibat stroke.

Situasi di atas tak ayal mencuatkan desas-desus ihwal suksesi di Iran: Peluang keberhasilannya? Para pemain utamanya? Daftar kandidat yang tersedia? Dan sebagainya. Tapi, sebelum terlalu jauh bergosip, marilah kita geledah dulu mekanisme suksesi pucuk pimpinan tertinggi di Iran sesuai tradisi dan aturan konstitusi Iran.

Di Iran yang bermazhab Syiah, kepemimpinan bukan soal sembarangan. Lebih dari tradisi mazhab-mazhab Islam lain, Syiah meletakkan urusan kepemimpinan dalam bingkai akidah. Pemimpin adalah sambungan kepada sang imam, dan imam adalah sambungan manusia dengan ranah Ilahi. Jadi, kepemimpinan memang punya sisi sakral yang kuat.

Konsekuensinya, di tengah masyarakat yang memiliki kesadaran agama dan tradisi seperti itu, posisi pemimpin bukan sesuatu yang mudah diraih. Pemimpin haruslah orang yang memiliki pemahaman dan otoritas agama yang kuat, keunggulan moral dan modal sosial yang mumpuni. Lebih diutamakan dia termasuk orang yang berasal dari keluarga yang sudah dffikenal pengabdian dan pelayanannya di tengah masyarakat. Pendeknya, dia harus kapabel dan akseptabel, sehingga memiliki otoritas sekaligus dapat diterima oleh publik luas.

Menurut Pasal 5 konstitusi Iran, rahbar (pemimpin tertinggi) haruslah seorang ahli hukum agama yang adil, paham situasi dan kondisi zamannya, pemberani dan cakap dalam manajemen dan administrasi. Pasal 109 merinci kualifikasi di atas dengan menyatakan bahwa pemimpin (yang berperan menggantikan posisi imam gaib) wajib memiliki 3 syarat utama sebagai berikut: (1). Kompetensi intelektual dan ilmiah untuk memberikan fatwa dalam seluruh masalah fiqih (mujtahid mutlak); (2). Adil (tidak memiliki tendensi berbuat buruk secara lahiriah) dan bertakwa (mampu menahan diri dari perbuatan keburukan); dan (3). Berwawasan politik yang benar, memiliki keterampilan sosial dan administratif yang memadai, mampu memerintah dan memiliki keberanian serta kapasitas kepemimpinan yang mumpuni.

Pasal yang sama lalu memberikan catatan menarik ini: “Jika ternyata ada beberapa kandidat yang memenuhi kualifikasi seperti di atas, maka pilihan sepatutnya diberikan kepada yang memiliki pandangan fiqih dan politik yang paling tajam dan bernas.” Catatan ini sebenarnya terkait dengan Pasal 107 yang secara khusus menjelaskan suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Imam Khomeini sebagai pendiri Republik Islam Iran. Pasal ini menjelaskan bahwa setelah kepemimpinan Imam Khomeini yang telah diakui dan diterima sebagai rujukan agama (marji’) dan pemimpin (politik) oleh mayoritas mutlak rakyat Iran, tugas memilih pemimpin diberikan kepada para pakar yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan 109 yang telah dipilih langsung oleh rakyat.

Selanjutnya, para pakar ini akan menilai dan bermusyawarah menyangkut seorang pakar hukum Islam yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 and 109. Jika mereka menemukan ada sosok yang paling mumpuni dan berilmu dalam hukum dan aturan Islam, atau masalah-masalah fiqih, atau isu-isu sosial dan politik, atau paling memiliki popularitas di tengah publik atau keunggulan yang menonjol dalam salah satu dari persyaratan yang termaktub dalam Pasal 109, maka mereka harus memilihnya sebagai Pemimpin. Jika tidak ada yang memiliki keunggulan tersebut, maka mereka harus memilih dan menyatakan salah satu dari mereka sebagai Pemimpin.

Dengan demikian, Pemimpin yang dipilih oleh Dewan Pakar memiliki seluruh kewenangan waliy al-amr atau waly al-faqih dan wajib memikul semua tanggungjawab yang menyertainya. Pasal ini diakhiri dengan pernyataan tegas bahwa sang pemimpin setara di hadapan hukum seperti seluruh warga lainnya, tanpa ada perbedaan dan diskriminasi.

Dewan Pakar yang memiliki kewenangan memilih Sang Pemimpin terdiri dari para mujtahid yang memiliki kompetensi ilmu agama yang memadai ditambah popularitas yang cukup. Sejumlah nama beken dalam jagat perpolitikan Iran gagal menjadi anggota Dewan Pakar. Sebagian lain seperti Mahmoud Ahmadinejad dan Muhammad Khatami bahkan tak mungkin masuk dalam kompetisi menduduki posisi bergengsi ini, lantaran mereka tidak dianggap memiliki kompetensi sebagai mujtahid.

Suksesi kepemimpinan Iran bakal berayun di antara otoritas dan kredibilitas intelektual dan proses demokratis; di antara kompetensi ilmiah dan popularitas. Sejauh ini, ada sejumlah nama yang kerap timbul tenggelam sebagai kandidat menduduki posisi tertinggi tersebut. Di antaranya, Mahmoud Hashemi (mantan ketua Mahkamah Agung), Hashim Huseini Buhshehri (mantan kepala Asosiasi Pesantren Iran dan Imam Jum’at Qom), Sadeq Larijani (Ketua Mahkamah Agung) dan sebagainya. Seperti dalam budaya sebuang bangsa, ada konstitusi dan ada tradisi. Meski tidak ada dalam konstitusi, tapi secara tradisi, pemimpin tertinggi Iran bakal datang dari sadah, keturunan Nabi Muhammad.

Salah satu yang bakal mempengaruhi pucuk kepemimpinan di Iran adalah faktor geopolitik. Negara Turki akan mempengaruhinya melalui etnik Turk, demikian pula negara-negara tetangga Iran lain. Tapi tentu saja pengaruh yang lebih kuat dan langsung akan datang dari Irak, terutama Najaf, sebagai salah satu pusat otoritas keagamaan Islam Syiah di samping Qom. Najaf akan memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan masa depan kepemimpinan Iran. Dan karenanya, kandidat yang mendapat dukungan Najaf akan memiliki kans lebih besar ketimbang yang lain. Ada sejumlah faktor geopolitik lain yang bakal mempengaruhi pemilihan pemimpin tertinggi Iran di masa depan.

Kesimpulannya, meski sebagian menduga bahwa pergantian pucuk kepemimpinan Iran akan berlangsung berdarah-darah, kenyataan bahwa aturan suksesi itu tertera jelas dalam konstitusi Iran tidak bisa diabaikan. Dan akhirnya, tiap bangsa akan tercermin dalam pimpinan dan proses pergantiannya; yang beradab akan memilih yang terbaik dan menggantinya dengan cara terbaik. [Islam Times.org' target='_blank'>Islam Times]
Comment